7

2.7K 385 7
                                    

Halo, semoga sehat selalu ya gaesss

***

Sudah pagi lagi. Bagi orang lain waktu berlalu cepat sekali. Tapi bagi Jira, setiap detik adalah siksa. Terutama saat pagi menyapa. Ia bangun dengan cemas. Was-was bilamana ada lelaki yang terbaring di ranjangnya. Inilah kekuatan rasa trauma dalam mencuci otak manusia.

Sebenarnya ini bukan pagi buta. Jira tidur lagi setelah subuhnya. Hanya ingin tidur, dan tidur lagi, itu yang Jira bisa. Berharap tidur bisa sejenak menghapus penderitaannya.

Klek!

Siapa lagi yang mengganggunya kali ini. Ia sudah bilang ingin sendiri tapi anggota keluarganya silih berganti mengunjungi, kecuali ayahnya. Padahal lelaki itulah yang Jira nanti menyambangi. Ia ingin menyampaikan keputusan atas pilihan yang disampaikan kakaknya semalam.

"Jira," sapa Laila seraya menyibak selimut yang Jira gunakan. Ia berusaha membangunkan Jira yang begitu lemah. "Bangun, Nak. Sudah siang."

Jira bisa merasakan kerentanan hati ibunya. Ia pun menurut. Duduk menyamping sejajar dengan ibunya.

Laila merapikan rambut putrinya yang acak-acakan. Cukup memprihatinkan. Cukup mewakili kondisi jiwanya ya g pasti kacau. Dalam batinnya muncul kekhawatiran. Mungkin Liya benar, Jira bisa gila jika terus dilarutkan dalam masalah begini.

"Ada yang ingin bertemu denganmu di bawah, ayo turun menemui mereka. Umi akan mendampingi."

Secepat kilat Jira melirik tajam ibunya. "Usir mereka, Mi!"

Laila tetergun. Padahal ia sudah sangat hati-hati dalam menyampaikan kedatangan Fathir dan orang tuanya. Tapi, putrinya memang bukan gadis kecil lagi. Jira sudah mau menikah, tapi... ah sudahlah.

"Seharusnya pintu rumah ini tertutup untuk mereka," ketus Jira.

"Siapa yang datang dengan niat baik pantang untuk ditolak, kan?"

"Jadi Umi ingin aku menerima kedatangan mereka dengan senyuman?" Tuduh Jira.

Laila menggeleng. "Memperbolehkan mereka masuk bukan berarti menyetujui yang mereka tawarkan. Saat orang lain menjahati kita, bukan berarti harus kita balas dengan kejahatan pula."

"Bagiku tidak, siapa yang mengusik juga harus terusik."

Laila memahami kebencian Jira. Setidaknya amarahnya itu membuktikan bahwa kejiwaannya masih boleh dikatakan wajar.

Ia mengusap punggung Jira yang sedikit membungkuk. Merangkulnya lalu memeluknya. Juga menciumi rambutnya beberapa kali.

"Umi tidak akan memaksamu. Umi hanya ingin menyampaikan permintaan mereka untuk bertemu denganmu, siapa tahu kamu mau bertemu dengan mereka."

Laila melepas dekapannya setelah dirasa cukup. Menghapus air matanya sendiri, lalu menatap si bungsunya lekat-lekat.

"Bagi Umi, tidak ada yang berubah," lirih Laila berkata. "Hajira, anak Umi, tetap suci, kuat, dan pemberani. Tidak peduli apapun yang sudah terjadi, sedikitpun kasih sayang Umi dan Abi tidak pernah berubah. Kami akan mengusahakan yang terbaik untukmu."

"Aku takut, Mi. Aku takut Abi menerima lelaki biadab itu. Aku juga takut, hiks... Aku takut menghadapi Jafin yang terus mencoba menghubungiku."

"Umi dan Abi sepakat, soal Jafin, itu sepenuhnya keputusanmu." Laila menghela napas. Menggenggam kembali tangan putrinya. "Kamu lanjut atau tidak, yang penting Jafin bisa menerima kondisimu. Atau... kamu tutupi semua ini dari Jafin."

Pandangan Jira berhenti di satu titik. Pada foto pertunangannya dan Jafin yang menggantung di dinding. Betapa tulus dan bahagianya senyum yang tertangkap kamera.

HAJIRA (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang