6

3.2K 417 18
                                    

Happy reading ya...

***

Rumah, tempat kembali tak peduli apapun keadaanmu.

Kedua saudara kandung Jira serentak berdiri saat mereka datang. Bersamaan memejamkan mata tak tega saat melihat kondisi adiknya. Lemah seakan tak bernyawa.

Setelah mendapat kabar dari ibunya, Liya dan Miza bergegas merapat ke rumah orang tuanya. Meninggalkan keluarga masing-masing demi menghadapi situasi genting. Adik mereka sedang mengalami kemalangan, dan mereka sedikit atau banyak merasa punya tanggungjawab yang sama seperti orang tua Zulfan dan Laila.

"Biar aku sama Miza yang menemani Jira ke kamar, Mi." Liya, si sulung menggantikan rangkulan Laila untuk Jira. Miza membantu, memapah sisi lain tubuh adiknya yang bagai tak bernyawa.

Sesampainya di kamar, Jira didudukkan di ranjang. Kakak-kakaknya mengapit di kanan kiri. Berusaha memberi Jira kenyamanan. Menunggu Jira berucap setidaknya satu kata saja karena sedari tadi Jira hanya diam, pandangannya kosong dengan kedip mata yang pelan.

Mereka genggam tangan adiknya. Memberi kekuatan.

"Semua yang terjadi di muka bumi ini adalah kehendak Allah. Istighfar, Ji." Miza mengawali.

"Terkadang rencana Allah memang sulit untuk dimengerti, tapi bisa jadi itulah yang baik bagi kita."

Jira masih terdiam. Juga masih berkedip pelan. Di kedua matanya hanv kosong tak tampak tanda kewarasan.

"Kenapa aku yang harus istighfar, padahal orang lain yang berbuat kesalahan?" Tanya Jira merespon.

Liya dan Miza yang semula antusias mendengar, lantas berakhir saling menatap. Merasa salah ucap.

"Ada banyak keutamaan istighfar, Dek." Miza menjelaskan. "Bukan hanya untuk pengampunan, tapi juga bisa mengabulkan doa, membawa kebaikan bagi siapapun yang mengucapkannya."

"Jadi, aku bisa berdoa agar lelaki itu mati saja?" Jira penuh dendam. Kedua tangannya mengepal. Matanya memerah marah.

"Ji... ." Kedua kakak Jira menyergah. Lalu bersamaan memeluk adiknya.

Isak tangis Jira mencair di pelukan kedua kakaknya. Kenyataan ini terlampau pahit bagi mereka bertiga.

"Aku harus bagaimana, Mbak? Hiks... Hiks... ."

"Sabar, Ji. Istighfar." Liya terus menyemangati. Diusap-usapnya punggung Jira seraya menangis juga.

***

Miza menghampiri ibunya yang termenung di sofa kamar. Di luar dugaan, ternyata ayahnya sedang berdiri menatap keluat jendela. Memasukkan kedua tangan di saku celana, sama sedihnya.

"Jira tertidur. Miza yang menemani," jelas Liya tanpa diminta.

Ia duduk di sisi ibunya. Merangkul bahunya, seraya mengusap-usap wanita berhijab yang melahirkannya itu.

"Dia sangat terpukul. Putus asa banget, sampai mendoakan Fathir meninggal."

Zulfan mengembuskan nafas berat. Kepalanya sedikit mendongak, memikirkan keputusan tepat.

"Dia pasti stres, Liya. Kejadian ini sangat mengejutkan kita, apalagi bagi Jira." Laila menakar penderitaan putrinya. "Dia pasti tidak bisa membayangkan nasib rencana pernikahannya."

Liya mengangguk setuju. Lalu memandang ayahnya yang masih berdiri dengan putus asa.

"Menurut Abi, bagaimana?"

Zulfan memutar tubuh. Melangkah ke arah sofa, tempat istri dan putri sulungnya duduk bersama.

"Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Setahuku Fathir itu tahu agama, dari kecil mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan islam. Seperti mustahil dia melakukan hal menjijikkan semacam ini, Bi." Liya mulai ngotot. Sebagai kakak tertua dia merasa punya tanggungjawab besar pada adik-adiknya.

HAJIRA (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang