9

1.5K 278 29
                                    

"Pagi, Mbak May," sapa seorang karyawan wanita begitu May melangkah keluar dari ruang divisinya.

"Hallo, pagi," sapa May balik dengan ramah. Tak sampai sedetik, tatapan karyawati yang awalnya menatap ke arah May beralih fokus menatap sosok lain yang ada di belakangnya.

May menghela nafas pelan, tak perlu baginya menoleh ke belakang untuk memastikan siapa sosok yang mengambil fokus si karyawati tersebut. Sudah pasti dia adalah Raka, hanya Raka yang bisa membuat mayoritas pegawai wanita di kantor tampak oleng hanya dengan kehadirannya. Seperti yang saat ini terjadi, wanita berwajah manis yang tengah berdiri di hadapan May seketika memasang ekspresi malu-malu kucing ke arah Raka yang baru saja menyusul keluar dari ruangan.

"Pagi, Kak Raka," sapa si karyawati dengan suara pelan dan bergetar.

"Pagi," sapa Raka balik dengan singkat, padat dan jelas.

Raka kemudian beralih menatap May. "Ngapain? Ayok," ajak Raka pada May.

"Oh, oke," jawab May kemudian.

May beralih sejenak menatap si karyawati yang masih berdiri di hadapannya. Sesekali si karyawati yang entah siapa namanya ini melirik malu-malu ke arah Raka yang malah cuek bahkan tak menghiraukan keberadaan karyawati tersebut.

"Duluan ya," sapa May ramah pada si karyawati. "Eh, sori. Nama lo sapa?" tanya May kemudian.

"Indah, Mbak. Bagian HRD. Udah kerja di sini 5 bulan," ujar karyawati bernama Indah itu, memberikan briefing singkat pada May tentang dirinya.

May nyengir sungkan. "Oke, Indah ... HRD. Gue inget-inget per hari ini. Gue orangnya ..." Belum sempat May menyelesaikan kalimatnya, Raka keburu menarik paksa tangannya begitu saja.

"Ka, astaga ..." protes May sembari menengok ke belakang, ke arah Indah. "Ndah, sori. Gue duluan ya," kata May ramah.

May menatap sinis pada Raka yang berjalan dengan langkah lebar-lebar. "Lo bisa nggak sih ramah dikit sama orang," sindir May merujuk pada cara Raka memperlakukan Indah yang ternyata salah satu fans Raka di kantor ini.

Raka mendengkus. "Kalian para cewek ini aneh. Kalo gue ramah sama cewek, kalian bilang gue tebar pesona. Kalo gue judes sama cewek, kalian bilang gue nggak ramah," ujar Raka blak-blakan. "Mau lo apa? Yang jelas," lanjutnya seraya menatap May yang malah mengernyitkan dahi mendengar ucapan Raka itu.

"Lo PMS?" tanya May seraya susah payah menyamakan langkahnya dengan langkah panjang dan lebar Raka.

Raka melirik ke arah May. "Maksudnya?" tanyanya bingung.

May menunduk menatap langkah mungilnya yang benar-benar kesulitan menyamakan langkah dengan tiang listrik bernyawa di sampingnya ini. "Ya soalnya dari tadi lo rungsing mulu," kata May.

Raka mengernyitkan dahi mendengar satu kata yang terdengar asing di telinganya. "'Rungsing' apaan?" tanya Raka.

"Rungsing itu gerundel. Gerundel itu uring-uringan," jawab May pada akhirnya gagal menyampaikan maksud sarkasnya pada Raka. Pria itu bahkan tidak tahu maksud kalimatnya. 

"Nggak. Gue biasa aja," jawab Raka cuek.

Di ujung lorong, May bisa melihat sosok wanita yang tampak berdiri dalam diam, seolah sedang menunggu May dan Raka berjalan melewatinya. Benar saja, saat jarak keduanya sudah semakin dekat. Si wanita yang ternyata adalah Karen–salah seorang karyawan akunting yang juga teman satu divisi Tiara–pun dengan sigap dan tanpa diminta segera menyapa Raka dengan ekspresi yang jauh berbeda dengan ekspresi Indah tadi.

"Pagi, Raka," sapa Karen sambil tersenyum lebar. Dia kemudian beralih menatap May lalu kembali tersenyum. "Pagi, Mbak May." 

May melambaikan tangan ramah pada Karen. "Hai, Ren," sapa May kemudian dengan cepat menyikut lengan Raka, memberi kode pada pria di sampingnya ini untuk membalas sapaan Karen.

May tidak ingin melihat Raka bersikap judes, jahat dan jutek seperti tadi, saat disapa oleh Indah. Apapun alasannya, May merasa sikap Raka yang dingin terhadap fans-fans- nya ini bukanlah sikap yang bisa dibenarkan.

Sayangnya, Raka tidak paham kode yang diberikan May tersebut. Raka kembali membalas sapaan Karen sama seperti yang dilakukan sebelumnya, membalasnya dengan singkat tanpa merasa perlu beramah-tamah. Raka bahkan terus berjalan tanpa menengok ke belakang. Meninggalkan May yang merasa tidak enak sendiri karena sikap kurang sopan Raka, tidak bisa melakukan apapun selain meminta maaf atas sikap Raka. "Sori ya," ujar May pada Karen.

Karen mengerjapkan matanya bingung. "Ha? Sori kenapa, Mbak?" tanyanya bingung.

"Sori buat sikap Raka," kata May sambil menatap punggung Raka yang terus saja berjalan menjauh.

Karen tersenyum lebar. "Ya ampun ... gue pikir apa, Mbak. Raka kan emang gitu tiap kali disapa. Santuy ... kita paham dia, kok," kata Karen.

May ganti nyengir lebar mendengar perkataan Karen yang terdengar begitu bucin itu. "Oh... o-ke, kalo emang nggak ada hurt feeling," ujar May. "Gue duluan ya. Bye, Ren," pamit May pada Karen lalu berjalan menyusul Raka.

"Ka," panggil May. Raka tak bergeming. "Raka!" panggil May sekali lagi, setengah berteriak.

Langkah kaki Raka seketika terhenti, ia menengok ke belakang dan mendapati May berjalan ke arahnya dengan raut wajah bersungut menahan marah.

"Ngapain sih buru-buru! Lo ngajakin gue beli kopi, 'kan," protes May sarkas,

Raka mengernyitkan dahi. "Sarkas lo nggak sampe ke gue," ujar Raka. "Udah ngomong aja langsung," lanjut Raka.

May menarik nafas dalam dan panjang. "Ya nggak jadi sarkas kalo gue ngomong terang-terangan," gerutu May.

Raka mendengkus menahan tawa. "Sapa yang nyuruh lo ngomong sarkas, Mayandra. Ngomong biasa kan bisa," kata Raka.

"Intinya lo songong. Trus jalan lo kecepetan! Lo ngajakin gue olahraga jalan cepet atau apa," ungkap May cepat.

Raka mengernyitkan dahinya bingung, "Gue dari tadi jalannya normal. Lo- nya aja yang lambat. Pake basa-basi nggak jelas juga," komentar Raka.

May mengangkat sebelah kaki kanannya sedikit, menggerak-gerakkannya dengan asal. Matanya menatap lurus pada Raka yang juga tengah menatap kaki mungilnya itu keheranan. "Gue bukan lambat. Kaki gue yang nggak sepanjang kaki lo," sahut May

Raka dengan cepat membuang muka untuk menahan tawanya agar tidak pecah. Bisa-bisanya May bertingkah sekonyol ini.

"Liat kan? Kaki gue pendek-pendek," ujar May lagi memberikan penekanan. 

"Kalo lo jalan selangkah, itu artinya gue butuh dua sampe tiga langkah buat nyusul lo. Begitu seterusnya," kata May gemas.

Raka menundukkan kepala bermaksud melihat ekspresi wajah May. Namun, matanya malah terhenti pada sepasang mata May yang tampak seperti puppy Golden Retriever. Raka mengerjap sekali dua kali sebelum kembali membuang muka. 

"Oke, gue paham. Cukup. Nggak usah goyang-goyangin kaki," kata Raka. "Soalnya kaki lo kayak buntut anjing," lanjut Raka.

May melotot. "Lo emang dari pagi cari gara-gara mulu ya, sama gue. Sengaja lo," kata May mendadak teringat kembali insiden foto Josephine.

"Gue nggak pernah cari gara-gara sama lo. Lo yang panik sendiri padahal udah dibilang 'chill' berkali-kali," sahut Raka.

"Ya kan gue lupa soal restore, Raka," bantah May.

Sementara keduanya berdebat, langkah kaki mereka tanpa sadar sudah sampai di depan pintu masuk kantor.

"Sapa tuh pesen kopi sebanyak itu?" tanya May sambil berdecak heran mengomentari bapak ojol yang tengah menitipkan 2 kantong plastik berukuran besar pada pak Pur, satpam kantor.

"Pak Pur," sapa May ramah sesampainya di meja jaga satpam.

Pak Pur menengok ke arah May dan Raka. "Nah ... kebetulan. Udah tau ya, Mas kalo dapet kiriman?" tanya pak Pur pada Raka.

"Buat saya?" tanya Raka kembali.

"Iya, Mas. Dari Mbak Chelsea katanya," jawab pak Pur.

May tersenyum canggung. "Lumayan, dapet kopi gratis. Udah nggak usah beli. Mana belinya pas pula ... buat berlima," ujar May lalu balik badan. "Lo yang bawa semua ya, Ka. Kan itu buat lo," ucap May sarkas sembari berjalan kembali memasuki gedung kantor.

"Anjir. Sialan," umpat Raka kesal.

The Mayandra's Deadline - TERBIT NOVEL REPUBTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang