5. Rediamond Group

7 2 1
                                    


"Kak, nanti Kakak turun sebentar ya? Aku mau ngenalin Kakak sama teman-temanku," pinta Dara dari kursi di sebelahku, ketika mobil mulai melaju di jalan raya meninggalkan gerbang tinggi menjulang kediaman keluarga Shailendra.

"Apa sih kamu, Dara? Tidak usah buang-buang waktu Ibu! Gak ada pentingnya mengenalkan istri kakakmu dengan teman-temanmu." 

"Biar teman-temanku tahu kalau istri Kak Deva itu cantik, jadi yang masih kirim-kirim salam sama Kak Deva itu bisa mengukur diri.  Capek kan aku," keluh Dara.

Aku hanya tersenyum, menunggu saja kesepakatan dari mereka.

"Tidak usah!"

Dara cemberut. "Yasudah. Tapi boleh ya pulangnya kak Hani yang jemput aku?" Ia masih saja memaksa.

"Liat saja nanti lah!" sahut Ibu.

"Yeeeeeey!" Sorak Dara sambil mengangkat kedua tangan dan berjoget penuh kemenangan. Ternyata kalimat 'lihat saja nanti' mempunyai arti 'ya' jika ibu mertuaku yang mengucapkan. Aku mulai mempelajari karakter masing-masing anggota keluarga.

Memasuki jalan-jalan utama yang macet, kufokuskan diriku untuk mengemudi. Berjuang di tengah kemacetan ibukota yang semakin menggila. Lengah sedetik saja, siap-siap tersalip dari arah kanan karena kondisi jalan yang otomatis mengerucut karena adanya pembangunan jalan layang.

Tak ingin memberi ruang bagi para penyalip, aku merapatkan jarak dengan mobil di depan. Beberapa kali kudengar ibu mertuaku meringis, bahkan sesekali memekik. Dalam pandangannya, moncong mobil ini terlihat seperti sudah mencium kendaraan di depan. Aku sangat berhati-hati, hanya akan melakukan itu ketika berada di belakang mobil-mobil terkini yang kurasa tak akan bergerak mundur ketika melepas pedal, tidak seperti angkot atau mobil lama yang masih menggunakan transmisi manual.

"Kalau mobil ini lecet, nyawamu taruhannya!" ancamnya.

"Santai saja, Bu," jawabku sekenanya.

Tak ada waktu mendengarkan ancaman ibu mertuaku. Satu jam lagi mesti sampai kantor sedang kami harus singgah dulu mengantar Dara ke sekolah. Fokusku adalah sampai tepat waktu.

Mengendarai sebuah Mercedes Maybach dengan mesin twin turbo yang dapat melesat 100 kpj hanya dalam waktu 4 detik, merupakan kesempatan langka dalam hidupku. Meski dengan spesifikasi demikian, rasanya percuma jika kondisinya macet seperti ini. 

Selepas lampu merah, kami memasuki jalan bebas hambatan. Bisa kudengar ibu mertuaku yang melepaskan ketegangannya.

"Kak Hani selain cantik, jago nyetir juga ya?" Dara menatapku terkagum-kagum. Terpesona oleh kelihaianku menggeliat lolos dari situasi jalan yang amburadul tadi.

Memasuki gerbang tol, barulah aku merasa bebas, menyalip beberapa kendaraan yang berjalan terlalu pelan. Aku memilih berada di jalur cepat. Kemudinya otomatis menyesuaikan diri, stabil dan tak mudah terguncang. Benar-benar mobil idaman.

Cukuplah aku pernah mengendarainya. Tak perlu bermimpi memiliki yang seperti ini.

"Kebetulan aku kadang ditugaskan menjemput atau mengantar mobil untuk dikirim ke luar pulau. Dan beberapa mobil yang pernah aku bawa adalah mobil-mobil sport atau sedan mewah seperti ini. Memang mengasyikkan." Aku menepuk setir dengan lembut. 

Dan ini adalah mobil paling mewah dan paling enak yang pernah aku kendarai!

"Besok-besok ajari aku menyetir ya, Kak?" Dara berkata antusias. "Kak Deva gak pernah mau, selalu sok sibuk."

"Kapan pun," jawabku. Sama seperti Deva, gadis di sebelahku ini memiliki rambut kecoklatan dan dua lesung pipi. Menciptakan kesan manis dan tak bosan memandang.

"Hah, percuma itu semua kalau pakai high heels saja tidak mampu," cetus ibu mertuaku. Hm, apakah menurutnya memakai high heels adalah keterampilan yang jauh lebih penting?

Ingin sekali aku menimpali, tapi urung kulakukan. Aku memilih untuk menikmati momen-momen berkendara dengan mobil mewah ini saja.

Kau beruntung, Hani. Karena ini tidak akan selamanya. Dan apapun yang ia katakan tentang aku, tak pernah kumasukkan ke dalam hati. Toh dia hanya ibu mertua kontrak. 

Beberapa saat kemudian, kami tiba di depan gerbang sekolah Dara. Secara tak rela, ibu mertuaku pindah duduk di sebelahku.

"Kak Hani," Dara mengetuk sebelum berlalu memasuki gerbang sekolah. Aku menurunkan kaca sepertiga. Beberapa murid menoleh dan berkasak-kusuk.

"Lebih turun lagi kacanya dong, Kak," bisik Dara, membuatku menggeleng kecil dan tersenyum, lalu menurunkan kaca hingga setengahnya.

"Ya, Dara?"

"Jangan lupa, jemput aku jam 2 ya, Kak?"

"Oke," senyumku. Dara menjauh dan melambai padaku, terlihat sangat puas karena berhasil memamerkan kakak ipar barunya.

**********

Mobil kami telah memasuki area gedung  Rediamond yang super megah. Ini gedung pencakar langit, yang terdiri dari 30 lantai. Bagian luarnya saja luas tak terkira, entah berapa hektar. 

Rediamond adalah brand name yang beroperasi di berbagai sektor, bahkan meliputi hampir semua sektor. Rediamond group mempunyai banyak sekali anak perusahaan. Mungkin tak terhitung.

Aku memarkirkan mobil di parkir khusus direksi, lalu keluar bersama ibu mertuaku tersayang.

Melihat kemegahan gedung di depan mata ini, aku jadi merasa sangat kerdil. Para karyawan yang berseliweran begitu modis dengan setelan kantor mahal dan high heels tak kurang dari 10 senti. Tak bisa kutepis perasaan seperti sedang berada di planet lain. Dan untuk kesekian kalinya semenjak memasuki lingkaran keluarga Deva, aku merasa tidak percaya diri. 

Aku mengekor patuh di belakang ibu yang melangkah luwes dan anggun. Mencoba mengimbanginya dengan stiletto setinggi 10 senti yang membuatku terlihat menjulang seperti memakai enggrang. 

Ketika kami melewati garis pintu lobi yang dapat buka tutup sendiri, semua orang yang ada disana menoleh dan memberikan anggukan hormat, tentunya pada ibu mertuaku. Ia balas mengangguk kecil sembari melanjutkan langkahnya menuju lift, aku setia mengekor di belakangnya dengan canggung. Mencoba bertahan di tengah puluhan pasang mata yang menghujam penuh penilaian. 

'Oooo ... Itu tho menantunya?'

Pasti begitu isi kepala mereka. Entah bagaimana lebih jelasnya.

Dalam hati, aku merutuk Deva yang tega-teganya melakukan ini padaku. 

Pintu lift terbuka. Kami melangkah masuk. 

"Tante Wulan?" Seorang gadis yang aku rasa ... terlalu cantik, menyapa Ibu mertuaku. Ya, karyawan di kantor ini rasa-rasanya tak ada yang alakadarnya. Semua serba super. 

Ibu mertuaku tersenyum sangat ramah---amat sangat ramah. Baru kali ini kulihat ia tersenyum begitu lepas. 

Mungkin ia memang ramah kepada setiap orang, kecuali aku.

Mereka berbicara sangat akrab selama beberapa menit, tentunya tanpa melibatkanku.

"Oh ya, kenalkan, ini Hani." Pada akhirnya, ibu mertuaku menoleh ke arahku dengan setengah hati. Terpatri sebuah keterpaksaan di wajahnya. 

Untuk sekejap gadis itu terkesiap, lalu dengan cepat berhasil menguasai diri.

"Oh ... Aku pikir ..."

Apa? Kamu pikir aku ini office girl yang sedang membersihkan lift? Pikirku geram. Stiletto yang kukenakan benar-benar membuat sumbuku menjadi lebih pendek.

Aku dan wanita itu bersalaman.

"Rahania Calandra," aku menyebutkan nama panjang sejelas-jelasnya. Orang yang tak mengenalku tentu akan berpikir aku dengan bangganya menyematkan nama keluarga Deva di belakang namaku. Padahal nama belakang kami memang terdengar mirip saja. "Panggil saja Hani."

Gadis itu tersenyum.

"Saya Dania. Dania Maheswari." 

Kali ini aku yang terkejut.

***********

-Bersambung-

(Bukan) Pernikahan CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang