Bab 19. Kabar Duka

0 0 0
                                    

Aku beranjak ke balkon untuk mencari udara segar. Tapi entah mengapa malam ini langit terasa amat pekat, hampir tak kutemukan adanya bintang. Udara pun pengap, tanpa pergerakan yang terlalu berarti. Atau ini cuma perasaanku saja?

Waktu menunjukkan pukul 8.30 malam. Beberapa saat lalu, seorang asisten rumah tangga mengetuk pintu untuk menawarkan padaku turut membereskan barang-barang. Katanya, Mas Deva yang memerintahkan.

Tapi aku jelas menolak. Akan kutunggu Deva hingga pulang. Tidak mungkin aku pergi dan membiarkan begitu saja asumsinya yang keliru.

Pesan-pesan yang kukirimkan padanya tak ada satu pun yang sampai. Semua masih centang satu, dan mendadak foto profilnya hilang. Artinya, Deva telah memblokirku dari kontaknya.

Tak kehabisan akal, aku coba mengiriminya pesan melalui menu SMS klasik. Bahkan meneleponnya berkali-kali. Tidak berbalas satu pun dan tidak juga diangkat sekejap pun. Aku seperti menghubungi orang mati.

Makan malam bersama keluarga malam ini kulewatkan. Aku tak peduli, tak berpikir tentang makanan sama sekali. Seorang asisten dapur mengetuk pintu dan membawakan beberapa menu makan malam di atas nampan. Dan kini makanan itu masih teronggok di atas meja kecil di sebelah sofa.

Meski tanganku sedingin es, dan kakiku rasanya lemas menanti pujaan hati dalam kecemasan luar biasa, aku belum sanggup menyuap apapun. Benar kata orang, menunggu adalah pekerjaan paling tidak mengenakkan. Perutku terasa melilit, kaki dan tangan berkeringat.

Untuk melepaskan sedikit ketegangan, aku beranjak mencuci muka di wastafel, lalu coba melihat pantulan diriku dalam cermin. Kusut, pucat, dan tidak baik-baik saja. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan selain mondar-mandir di dalam kamar, memikirkan berbagai kemungkinan buruk.

Bagaimana kalau Deva tak pulang? Bagaimanapun kalau ia menolak bicara denganku? Bagaimana jika ia mengucap kata cerai sebelum aku sempat menjelaskan yang sebenarnya?

Bagaimana, bagaimana dan bagaimana?

Agh!

Kucoba kembali menghubunginya, satu-satunya usaha yang masih bisa kulakukan. Masih nihil. Ingin sekali aku melemparkan ponselku untuk menumpahkan seluruh kefrustasian ini. Untungnya pikiranku masih menyisakan segelintir kewarasan. Atau, perlukah aku menyusulnya ke kantor?

Ya! Aku benar-benar tak bisa menunggu lagi.

Bergegas, aku merapikan diri. Menarik sebuah blazer berwarna coklat tua dari ruang pakaian, dan mengulas bedak secukupnya pada permukaan wajah. Meskipun dalam kondisi kalut, tapi menginjakkan kaki di kantor utama Rediamond tetaplah harus meninjau penampilan. Apalagi statusku adalah istri sang pemilik perusahaan.

Setelah merasa cukup rapi, aku setengah berlari menuju pintu dan membukanya.

Dan terkesiap melihat Ibu mertuaku berdiri tepat di baliknya, sedang bersiap mengetuk pintu yang lebih dulu terkuak.

"Emh ... Ya, Bu?" tanyaku kaget. Mau tak mau, perlahan kubuka pintu lebih lebar tanda mempersilakannya masuk. Ibu mertuaku bergeming. Dengan pandangan menelisik, ia menyisir pandangan dari atas hingga ujung rambut.

"Ikut saya," katanya singkat, memberikan isyarat padaku untuk mengikutinya. Tanpa banyak bertanya, aku menurut. Berjalan mengekornya seperti melayang tak menapak. Seperti ada yang meremas jantung lantas membuat keringat keluar dari pelipis. Pikiranku tumpang tindih, sibuk menerka-nerka kami akan kemana dan mau apa. Adakah hubungannya dengan Deva?

Beberapa detik kemudian, kami sampai pada sebuah pintu yang terletak di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Dara. Ibu mertuaku membukanya, dan nampaklah sebuah ruangan tak begitu luas namun sangat nyaman. Meja kerja dengan kursi putar di baliknya. Lemari arsip dan buku-buku di belakangnya. Di salah satu sudut dekat jendela, terdapat sofa hitam berlapis kulit. Dan di sanalah ibu mertua mengajakku duduk bersama.

(Bukan) Pernikahan CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang