Ryziphobia

559 116 562
                                    

"Adek, makan! Buruan udah siang."

Teriakan Mama memecah lamunanku. Ah, sebenarnya aku tidak pernah sarapan, karena itu akan membuatku mengantuk. Jadi teriakan Mama barusan hanya akan jadi formalitas belaka. Tapi anehnya Mama akan melakukan itu setiap hari. Bukankah itu hanya akan buang-buang tenaga?

"Gak mau, bawa bekal aja!" Teriakkanku tak kalah kencang dengan Mama.

"Yaudah buruan! Mama udah ada pasien nih."

Mama terlihat tergesa-gesa memasukkan sandwich-ku ke dalam kotak bekal.

"Memangnya, siapa sih yang kecelakaan jam segini, Astagfirullah!" gerutuku. Aku tahu bahwa kecelakaan itu bisa terjadi kapan saja. Tapi hey! Ini baru pukul enam pagi.

"Udah-udah jangan ngomel, buruan pake sepatunya." Teh Wenda berjongkok membantuku memakai kaus kaki. Setelahnya dia mencium keningku. "Jangan pacaran dulu, kamu pipis aja masih dianter," peringatnya dengan nada meledek.

Aku berdecak tak terima. "Iiih semalem kan aku abis liat film horor, kalo gak abis liat film horor aku juga berani pipis sendiri." Aku membela diri.

Teh Wenda memeletkan lidahnya. Ah, sial! Aku harus berangkat sekolah, kalau tidak dia sudah babak belur karenaku.

Abhinaya Global School

Tulisan itu terpampang jelas di atas gerbang sekolah.
Aku sudah tidak terlalu gugup sekarang, karena minggu kemarin aku sudah melaksanakan kegiatan masa pengenalan lingkungan sekolah. Tugasku sekarang hanyalah mencari namaku di mading untuk mengetahui aku masuk kelas MIPA berapa, and what the fuck?! Apa-apaan ini?! Aku absen pertama di kelas X MIPA 1?!

Tuhan cobaan macam apa ini?

MIPA 1 yang sering diceritakan kelas para murid pintar bahkan jenius serta ambisius dan sekarang aku yang Brainly-able  ini tergabung di dalamnya.

Bisakah aku pindah kelas?

Tapi mungkin itu akan sedikit rumit, jadi sepertinya aku akan mencoba terima nasib saja.

Karena nyatanya kelas MIPA 1 itu tidak semenakutkan yang aku pikir sebelumnya. Buktinya tadi, hanya aku yang bisa menjawab pertanyaan guru matematika. Hanya saja, ketika guru dan teman-temanku mengetahui bahwa ibuku adalah seorang dokter, mereka seperti berharap lebih kepadaku. Tentu, itu adalah beban tersendiri untukku.

Bel istirahat berbunyi. Anak-anak di kelasku berpencar mencari anggotanya--persis seperti sekelompok jenis semut yang terpencar dari kawannya. Sedangkan beberapa anak lagi menghampiri untuk berkenalan atau bertukar nomor Whatsapp. Salah satunya adalah Shilla.

"Nama panggilanmu apa? Nanda atau Salsa?" Shilla bertanya, tapi dirinya sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya.

Aku meliriknya sekilas. "Nanda," jawabku sambil mengeluarkan kotak bekal. Di detik itu juga, Shilla pun melakukan hal yang sama. Kotaknya berwarna ungu tapi sedikit transparan hingga aku bisa melihat nasi putih dengan lauk telur dadar dan beberapa lembar sayuran hijau di dalamnya. Seketika aku bergidik ngeri.

"Kita makan bareng, yuk!" ajaknya antusias.

Aku tersenyum sambil menggeleng. "Makasih ajakannya, tapi aku udah ada janji sama orang. Maaf." Shilla mengangguk paham lalu bergabung dengan yang lain.

Jangan salah paham, aku bukan anti sosial atau sebagainya. Hanya saja aku mengidap ryziphobia atau rasa takut berlebihan ketika melihat nasi. Iya, aku tahu ini sedikit aneh tapi memang kenyataannya begitu.

Dan setiap aku mengungkapkan hal itu, pertanyaan yang sering muncul adalah : terus kamu makan apa? Pertanyaan yang cukup menggelitik bagiku, mengingat makanan bukan hanya nasi. Tapi aku memahaminya, mengingat aku tinggal di negeri yang mayoritas makanan pokoknya adalah nasi.

Swastamita | SM Family ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang