Ada Udang dibalik Batu

117 61 293
                                    

Kita lupakan pengakuan aneh Raka kemarin. Aku yakin dia hanya mengada-ada. Sekarang, mari bantu aku memikirkan cara untuk membayar struk seharga 35 juta. Tanganku saja sampai bergetar memegangnya. Ini kali pertama aku menghabiskan uang sebanyak ini.

Ini semua berawal dari anak-anak kelas yang mengajakku untuk mengadakan doa bersama sekalian makan bersama sebelum pemilihan ketua OSIS. Dan ya, seperti yang sudah kalian tahu, aku fobia nasi. Lalu, aku berpikir satu-satunya tempat makan yang paling minim kemungkinannya untuk menyediakan nasi yaitu steak house. Namun, bodohnya aku, aku membelikan mereka semua wagyu A5. Sialnya lagi, teman-teman kelasku berjumlah 23 orang.

Kalau saja, Mama tak menyita black card-ku, aku mungkin tak akan sebingung ini. "Bentar ya mbak," ucapku kepada seorang waitress.

Dengan tangan yang masih bergetar, aku mengutak-atik ponselku. Berharap, aku punya saldo yang cukup untuk membayar tagihan itu. Sayangnya, aku lupa bahwa hari ini bukanlah hari keberuntunganku. Aku hanya punya 5 juta di atm.

Aku menghela napas berat. Lalu berbalik ke arah teman-teman yang masih asyik menikmati steak. Hati kecil meminta untuk mengajak mereka patungan, namun rasa gengsi menentangnya. Karena aku sudah tanggung mengatakan akan mentraktir mereka semua.

"Kalo kaya gini, gak ada cara lain." Aku kembali mengutak-atik ponsel, mencari kontak seseorang. Namun yang jelas, bukan Mama.

Pengabdi Lontè🌶💃
mengetik...

"Mau ngomong apa dia?" Monologku heran, ketika mendapati Papa sedang mengetik sesuatu. "Bodo amat ah! Aku butuh duit."

Pengabdi Lontè 🌶💃
mengetik...

Pah, transfer!


Eh, panjang umur kamu kak
Baru saja papa mau ngajak ketemu

Tck! Gampang itu. Sekarang transfer, aku butuh duit

Brp?

50

Rb? Tumben dikit kak

Jt


Oke
Tp nanti malem dateng ya. Perusahan pp ulang tahun

Sip. Bisa diatur

Dan gara-gara transferan 50 juta tadi sore, sekarang aku sedang dirundung kebingungan. Petakilan-petakilan begini, aku juga memperhatikan penampilanku. "Miskin banget aku, baju aja gak punya." Sambil berkacak pinggang, aku membiarkan lemari bajuku itu terbuka lebar. Aku bukannya benar-benar tak punya baju, tapi--ah you know lah perempuan.

"Yang ini udah pernah aku pake pas kondangan sepupu, yang biru ini juga pernah dipake pas ulang tahun temen, apalagi yang ini, ini kan pernah aku pake pas acara OSIS mana dijadiin highlight Instagram lagi sama aku."

Aku semakin frustrasi ketika semua bajuku itu pernah kupakai. "Mamaaa pengen baju baru," rengekku sambil berjalan ke kamar Mama.

Mama terlihat sedang mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil, sepertinya beliau baru selesai mandi. "Emang baju Adek yang di lemari kenapa?" tanya Mama tanpa melirik ke arahku.

Aku menghentakkan kaki, lalu mendekatinya. "Pernah Adek pake semuaaaa." Tanpa sadar aku menarik tali handuk kimono yang sedang dikenakan Mama dan blaar! Handuk Mama terbuka.

"Astagfirullah hal adhim, Dedek!" Mama menghempaskan tanganku kasar dan segera mengikat kembali handuknya.

Merasa tanganku sedikit sakit, aku mencebik. "Ih, Mama mah KDRT," cibirku, sembari mengelus-elus tanganku yang sedikit sakit.

"Ya lagian kamu riweuh! Emang kenapa sih, kalo bajunya udah pernah Adek pake?"

"Tudaa Mama mah gak ngerti. Kan nanti aku teh pasti difoto, terus dipost, terus temen-temen aku teh pada liat. Kan nanti mereka pasti ngomong gini ; ih cenah si Nanda pake baju itu mulu. Nanti teh kaya gitu Mamaaaa."

Entah apa yang salah dengan perkataanku barusan, yang jelas Mama malah memutar bola matanya malas, lalu dengan acuh tak acuhnya beliau duduk di kursi meja riasnya.

Tak terima dengan responsnya yang seperti itu, rengekkan semakin menjadi-jadi. "Ih Mamaa beliin bajuu."

"Tck! Jangan riweuh, Dek. Pake aja baju yang ada, belum tentu orang inget-inget baju kamu juga."

Ah, memang susah berbicara dengan orang tua!

*****

Tahu bakal begini, lebih baik aku menjual ginjal saja tadi untuk mentraktir teman-temanku. Daripada aku harus menyaksikan Papa menggandeng tangan Mami begitu mesra, lalu dengan bangganya Papa memperkenalkan Mami kepada para koleganya.

Tetapi, hal itu belum seberapa sakit jika dibandingkan mendengar anak-anak Mami memanggil Papa dengan sebutan daddy.

Dada panas, egoku ingin berkata kepada mereka ; dia bapak gua! Bukan bapak kalian!

Mataku masih terfokus pada Mami. Tubuhnya tidak setinggi dan ramping Mama, kulitnya juga berwarna sawo matang. Lalu, mengapa Papa lebih memilih dia daripada Mama?

Sadar diperhatikan olehku, Mami berjalan mendekat. "Kak, mau sesuatu gak? Biar Mami ambilin."

"Nggak, Mi, makasih. Nanti kalau mau, aku ngambil sendiri kok," sahutku, seramah mungkin. Beginilah salah satu sisi gelap, dunia bisnis. Kita harus selalu terlihat harmonis bagaimanapun keadaannya, terlebih lagi, di hadapan para investor.

Mami mengangguk. "Di sini AC-nya dingin banget. Mau pakai jaket? Kebetulan Mami bawa," tawarnya lagi, karena memang aku memakai gaun dengan dada yang sedikit terbuka sekarang.

Tanpa bersuara sedikitpun, aku tersenyum dan menggelengkan kepala sebagai respons.

"Oke, kalo butuh apa-apa bilang ya, Mami ada di sana sama anak-anak," pamitnya.

Setelah Mami pergi, kini giliran Papa yang menghampiriku. Beliau langsung duduk di hadapanku sambil bertumpang kaki. "Gimana kabarnya, Kak?"

"Alhamdulilah," sahutku, singkat.

"Kalo Mama gimana, sehat?"

"Alhamdulilah, Mama juga sehat, Pa."

Papa mengangguk. "Syukur deh, kalo pada sehat. Terus gimana perkembangan pencalonan jadi ketua OSIS-nya kak, lancar?" Sepertinya Papa tak ingin percakapan kami usai.

"Kemarin baru debat sih, Pa. Insya Allah, hari senin besok pemilihan," jawabku, seraya meraih gelas jus jeruk yang ada di hadapanku.

"Semoga sukses ya, Kak," ucapnya seraya menatapku dengan penuh harapan.

"Aamiin."

"Papa gak nyangka, kamu punya jiwa kepemimpinan," ungkapnya.

Sontak, perkataan itu membuatku terkekeh. "Nggak, sih. Aku cuma nyari kesibukan aja."

Papa mengangguk beberapa kali secara samar. Lalu, meminta pelayan untuk menuangkan anggur ke gelasnya. Keheningan menyapa kami untuk beberapa saat. Hingga setelah terdengar suara gelas dan meja yang saling bertemu, Papa angkat bicara tentang alasan beliau mengundangku malam ini.

"Omzet perusahaan ini setiap bulan ada pada kisaran 1-2 triliun rupiah dan menurut Papa memimpin perusahaan itu lebih mudah daripada menjadi dokter." Aku menyimak pembicaraan Papa dengan sangat teliti, menebak ke mana arah tujuannya.

"Teteh udah gak ada dan Papa udah gak muda. Jadi Papa harap, kamu bisa mempertimbangkan untuk melanjutkan perusahaan ini." Papa kembali meneguk anggurnya. "Believe me, ini gak seribut jadi dokter."

Benar kata orang, selalu ada udang dibalik batu.




*****

Swastamita | SM Family ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang