Jadi yang Mana?

224 94 434
                                    

Gak typo, gak afdol!

*****

Bau karbol yang menyengat, ruangan serba putih dan tangan tertancap jarum. Hah ... aku sangat tak suka ini. Semalam, aku dilarikan ke rumah sakit dan didiagnosa tipes. Dan ya ... beginilah aku sekarang, terbaring lemas di ranjang rumah sakit, bermain game seharian, menonton Spongebob setiap waktu. Sangat membosankan!

Tetapi kalau dipikir-pikir lagi, lebih baik begini daripada aku harus menghadapi matematika peminatan. Aku sangat-sangat tidak suka pelajaran itu! Terlebih jawabannya jarang ada di Google.

Berbicara tentang matematika peminatan, dulu sebelum masuk SMA, kupikir itu adalah pelajaran opsional. Seperti :  kalau aku minat ya belajar, kalau enggak ya tidak perlu. Ternyata bukan. Itu adalah belajar wajib jurusan IPA. Padahal, aku minat juga tidak.

Memangnya siapa yang ingin mengurusi masalah si logaritma?

Kalau bukan karena permintaan Mama agar aku menjadi dokter, aku tak akan masuk IPA. Bahkan masuk SMA pun tak akan. Mungkin aku akan masuk SMK dan mengambil jurusan Teknik Komputer dan Jaringan

Entah mengapa aku sedikit tertarik dengan bidang itu, padahal keluargaku tak ada yang bekerja di bidang tersebut. Meskipun setelah lulus aku bisa saja masuk jurusan Informatika, tapi kembali lagi Mama memintaku untuk mengikuti jejaknya menjadi dokter.

Aku melirik jam dinding lalu membuang napas berat, baru pukul sembilan pagi. Aku tak paham, mengapa setiap aku sakit waktu terasa sangat lambat.

Aku benar-benar bosan. Mama bekerja, Teteh kuliah, dan Papa ... ah bajingan itu sungguh menyebalkan! Bukannya datang menjengukku beliau malah mengata-ngatai Mama tidak becus mengurus anak.

Tuk, tuk, tuk.

"Masuk!"

Satu detik setelah pintu terbuka, mataku membulat sempurna mendapati Raka datang menjengukku.

"Bebeb," sapanya dengan nada riang dan melambai-lambaikan tangannya.

Sebahagia itukah dia melihatku sakit?

"Ngapain kamu ke sini?" Aku bertanya sinis.

Anak itu malah tersenyum genit sambil berjalan mendekat. "Ish, ya jengukin calon istri lah!"

Aku berdecak kesal. "Tck! Calon istri, calon istri. Kita pacaran aja belum."

"Oh, kamu mau kita pacaran dulu? Aku pikir kamu mau kita langsung nikah. Emmh ... okay deh, mulai hari ini kita pacaran yaw."

Baiklah, sepertinya aku kembali salah bicara kepadanya.

"Sampe sakit gini loh kamu Beb, mau pacaran sama aku. Lain kali kalo mau apa-apa ngomong ya, jangan dipendem," sambungnya, lalu duduk di kursi.

"Bukaan, aku sakit tipes Raka," sahutku.

Aku mengernyitkan kening, ketika melihat perubahan mimik wajahnya yang drastis sesaat setelah aku berkata begitu.

"Ini pasti karena kamu suka ngasihin bekal kamu ke aku ya? Jadinya kamu kurang makan," tanyanya sambil menunduk.

"Eh nggak kok. Tipes itu disebabkan oleh bakteri, Raka. Jadi nggak ada sangkut pautnya sama kurang makan," jawabku sambil berusaha meyakinkannya bahwa dia tidak bersalah.

"Oh berarti karena aku ngajak kamu ke tempat yang kotor kemarin. Sorry, ya."

"Gapapa, Raka. Ini salah aku juga kok gak jaga kebersihan."

Ini kali pertama aku melihat wajahnya seperti itu. Aku jadi merasa tidak enak kepadanya.

"Ini baru jam sembilan, kamu gak sekolah?" tanyaku, berusaha mencairkan suasana.

"Sekolah itu gak penting, yang penting itu kamu." Anak itu kembali menggombal seraya menyugar rambutnya.

"Kamu tuh bisa gak sih sehariiiii aja gak gombalin aku?"

Dia menggeleng cepat. "Nggak. Ngegombalin kamu tuh terlalu candu."

"Candu, candu, emang aku narkoba?!" Aku memutar bola mataku malas lalu meraih apel dan pisau kecil.

Namun dengan sigap Raka merebutnya lalu mengupaskannya untukku.

"Ketika kamu punya pacar, pacar kamulah yang akan melakukan ini," ucapnya sambil memberikan potongan apel tersebut.

Aku terkekeh pelan. "Dih emang aku mau jadi pacar kamu?"

"Ya masa kamu gak mau sih, jadi kekasih dari seorang Raka tamvan," ucap anak itu dengan penekanan pada kata tamvan.

"Eh ngomong-ngomong, kamu tahu dari mana aku sakit?"

"Hah ... firasat seorang kekasih sejati tuh kuat banget, Beb."

Sungguh! Aku menyesal bertanya seperti itu.

Tuk, tuk, tuk.

"Tck! Siapa sih itu gangu orang lagi pacaran aja!" gerutu Raka, sambil berjalan hendak membukakan pintu.

Jantungku berdebar kencang ketika mengetahui yang datang adalah A Eka. Mungkin setelah ini diagnosa dokter terhadapku akan dari tipes berubah menjadi serangan jantung.

A Eka nampak menganggukkan kepala kepada Raka sebelum mendekatiku, sedangkan bocah tengil itu malah menatap sinis A Eka. Aku tak tahu apa penyebabnya dia bersikap seperti itu.

"Kata Shilla kamu sakit tipes, makanya aku dateng ke sini bawain kamu bubur ayam," ungkap A Eka sambil memberikan kantong plastik transparan berisi satu kotak bubur lengkap dengan kerupuknya.

"Hehe, padahal nggak usah repot-repot aku gapapa kok."

"Ah nggak repot kok," sahutnya.

"Tck! Bukannya sembuh, dia bisa-bisa malah makin sakit bang, makan bubur dari lo." Raka merebut bubur itu dari tanganku.

"Maksudnya?" tanya A Eka tak paham.

"Dia phobia nasi," jawab Raka sedikit sinis.

A Eka beralih menatapku. "Bener?"

"Iya. Tapi gapapa, aku bisa makan kerupuknya kok, A. Makasih, ya."

"Dek ini Teteh bawain kamu baju ga---eh ada tamu, temennya Nanda ya?" Teh Wenda datang dengan membawa tas berukuran sedang dan kantong plastik putih bertuliskan Indomaret.

Kompak, kedua bocah lelaki itu mengangguk.

"Duh maaf ya dianggurin, udah lama?"

"Lumayan, nggak gapapa kok, Kak. Lagian kami juga mau pulang sekarang," jawab Raka, sambil menarik lengan A Eka.

"Eh kok buru-buru banget?"

"Mau lanjut sekolah, Teh."

Aku tahu sebenarnya mereka malu karena ada Teh Wenda di sini.

"Jadi ayangnya yang mana, Dek?" tanya Teh Wenda sambil menatap punggung kedua bocah laki-laki itu yang sudah diambang pintu.

*****

CATATAN :

🗣 : Thor, penulisan yang benar itu tifus bukan tipes.

Enggak. Tifus sama Tipes tuh serupa tapi tak sama. Tifus disebabkan oleh bakteri Rickettsia prowazekii. Sedangkan tipes disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Cara menjakitnya pun sedikit berbeda.

And by the way, sorry aku update hari minggu, karena aku lagi di rumah mamiku dan di sini susah sinyal.



Swastamita | SM Family ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang