Pundak Raka

202 89 465
                                    


"Udah selesai marah-marahnya?"

Benar, itu adalah suara Mama. Tanpa kusadari ternyata wanita itu mengawasiku sedari tadi. "Kalo udah, Mama obatin ya lukanya." Beliau mendudukkanku di atas kasur, lalu beliau sibuk dengan peralatan medisnya.

"Hah ... untung aja Mama bawa ini. Kalo nggak, bisa-bisa kamu kehabisan darah, Dek," ucapnya seraya memakai sarung tangan, lalu membersihkan lukaku.

Aku hanya diam tak menyahuti perkataan Mama. Sesaat setelah beliau menyuntikkan anestesi, Mama menatapku sambil tersenyum hambar.

"Adek tahu? Semua hal yang di semesta ini berpasang-pasangan. Baik dengan jahat, gelap dengan terang, dan hidup dengan mati," ungkapnya seraya tetap fokus menjahit kembali luka di jari kelingkingku.

"Takdir udah sampai, Dek. Dan kita gak bisa melawan itu," sambungnya.

Aku kembali terisak. "Tapi kenapa Tuhan mengambil Teteh tanpa aba-aba, Ma?"

"Karena ketentuannya memang begitu. Jodoh, rezeki, maut itu rahasia Tuhan, Nak."

"Emangnya kalo Tuhan ngasih aba-aba, Adek mau ngapain?" Mama balik bertanya dan aku tak bisa menjawab pertanyaan tersebut.

"Siap-siap? Bakal sedih dari awal biar nanti kalo udah saatnya, Adek udah gak sedih lagi gitu?" Mama berucap dengan kekehan pelan. "Gak ada satu orang pun yang siap ditinggal orang yang dia sayangi dan Tuhan tahu itu. Makanya Dia ngambil Teteh secara tiba-tiba, biar kamu sedihnya gak dari lama."

Aku tak terlalu mengerti dengan apa yang dikatakan Mama. Bahkan sekarang, aku tak mengerti mengapa Mama nampak begitu tegar. Tak ada sama sekali raut kesedihan di wajahnya.

"Mama gak sedih Teteh pergi?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutku.

Kembali Mama terkekeh. "Eh bocah! Mama ini ibunya Teteh. Jadi mustahil kalo Mama gak sedih Teteh pergi."

"Kok Mama gak nangis?" Aku bertanya kembali.

Sebelum menjawab Mama tersenyum manis ke arahku. "Mama tegar aja kamu kaya gini, apalagi kalo Mama nunjukkin kesedihan dengan menangis."

Baiklah, sepertinya aku skakmat dengan pertanyaanku sendiri.

Tetapi, masih ada satu hal yang aku ingin tanyakan kepada Mama dan sepertinya sekarang adalah saat yang tepat untuk bertanya hal itu.

"Terus Papa gimana Ma?"

Lagi dan lagi Mama menatapku sebelum menjawab, tetapi kali ini tanpa senyuman. "Gimana apanya?"

Nyali hampir ciut melihat respons Mama yang seperti itu, tetapi ini sudah terlanjur, jadi aku akan menghabiskan rasa penasaranku sekarang.

"Mama gak cinta Papa ya? Makanya Mama bisa ngelepas Papa malam itu juga."

Lama Mama tak menjawab. Aku tak tahu apa penyebabnya, apa pertanyaanku terlalu sulit? Atau pertanyaanku keterlaluan?

Setelah menghela napas, akhirnya Mama menjawab. "Justru karena Mama cinta Papa, Mama ngelepas Papa malam itu juga."

Aku mengerutkan kening, tak paham. "Maksudnya?"

"Papa berselingkuh dengan Mami lebih dari dua tahun, sayang. Bahkan sampai jadi bayi yang di kandungan Mami, itu artinya Papa lebih bahagia sama Mami ketimbang sama Mama. Jadi biarlah Papa sama Mami asal dia bahagia. "

"Mama kan punya kamu," sambungnya sambil mencolek pipiku jahil.

*****

Aku selalu kurang nyaman jika diantar sekolah oleh Mama. Sebab, Ferrari milik Mama akan jadi pusat perhatian banyak orang. Dan itu sangat membuatku kurang nyaman.

Swastamita | SM Family ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang