Heeseung akhirnya memilih untuk duduk saja. Ia paham benar bahwa Ayahnya bukanlah orang yang akan menyukai sentuhan fisik. Tapi ia tetap merasa sedikit sedih sebab pria itu menolak pelukannya. Padahal putra bungsunya itu sudah lama menimbun rindu. Ah, tapi biarlah.
"Ayah sedang sibuk apa akhir-akhir ini?" tanya Heeseung basa-basi.
"Hidup. Lebih dari apa yang kau lakukan." jawab Tuan Lee cepat.
Entah mengapa, mendengar itu membuat Heeseung makin tak nyaman. Manik ayahnya itu terpaku pada layar ponsel. Tidak sama sekali menatapnya, seakan enggan.
"Lebih dari yang Heeseung lakukan?" ulang Heeseung lirih. "Ayah apa tahu apa yang Heeseung alami sebelumnya?"
"Memangnya apa? Kau bicara seperti itu seakan baru selesai bertahan hidup."
"Ayah sungguhan tidak tahu? Heeseung hampir mat-"
"Omong-omong, kapan kau akan pergi?" nada sang Tuan kini menjadi sedikit lebih ketus.
Mendengar itu, Heeseung terbungkam. Ayahnya rupanya lebih mengharapkan kepergiannya daripada merindukan kehadirannya. Harapan yang ia rangkul di bahunya tadi pagi telah menguap bilamana melihat sikap ayahnya yang sedingin lautan.
" ... Ayah nggak suka kalau Heeseung datang berkunjung?"
Tuan Lee menghela napas, tampak letih. Akhirnya ia meletakkan ponselnya sejenak dan menatap kedua manik rusa putranya.
"Lee Heeseung," panggilnya datar,"Ayah sangat sibuk sekarang. Kalau kamu mau bicara sesuatu yang penting, mari lakukan lain waktu."
"Kalau Heeseung yang hampir mati bukan sesuatu yang penting bagi Ayah, sepertinya kita nggak akan saling bicara lagi setelah ini."
Pemuda itu menjinjing tas ranselnya lantas berdiri. "Semoga hidup Ayah sungguhan lebih dari hidup Heeseung."
Heeseung membungkuk sejenak, memalsukan sebuah senyuman untuk kemudian mengangkat kaki dari rumah pria yang mungkin enggan untuk ia panggil sebagai 'Ayah' lagi. Heeseung tidak sedih. Yah, mungkin sedikit. Ia terlebih marah.
"Anak tak tahu diri!"
Heeseung menulikan rungunya. Tungkainya terus ia pacu menjauhi rumah yang sebelumnya ia kunjungi itu.
Langkahnya lantas membawanya melewati sebuah taman kota. Padahal ini masih pagi, tapi dia sudah akan kembali ke rumah dimana ia dan teman-temannya tinggal, lagi. Pasti kawan-kawannya bahkan baru sampai di rumah keluarga mereka.
Suara gonggongan samar lalu membuyarkan lamunan si pemuda. Heeseung menoleh, mendapati seekor anjing liar yang tengah menatapnya diantara semak-semak. Netra binatang itu tidak beralih.
Apa? Kau mengasihaniku?
Heeseung menertawakan dirinya sendiri. Menyedihkan sekali kiranya sampai dikasihani oleh seekor binatang. Heeseung berjongkok dan menjulurkan tangannya. Anjing itu serta merta mendekat, tampak girang. Tangan pemuda itu mengusak kepala si anjing berulang-ulang. Wajahnya datar.
Melihat tubuh anjing itu yang mengurus dan tidak sehat, ia terpikirkan sesuatu.
"Pas sekali." gumamnya. "Tunggu disini, aku akan membelikanmu sesuatu."
Anjing itu paham, ia duduk di sisi trotoar taman sementara Heeseung pergi dengan langkah-langkah cepat. Matahari semakin naik, cahayanya makin lama makin memanas.
Setelah berselang lebih dari satu setengah jam, pemuda tinggi itu tiba lagi di taman kota. Sedikit terenyuh sebab anjing tadi masih setia menungguinya. Melihat keberadaan Heeseung, anjing keemasan itu mengibaskan ekornya serta mengangkat kepalanya; antusias.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Gizhi | ft. ENHYPEN and TXT
Fanfiction[ a sequel of Niñogiz ! ] Jungwon kira, Tuhan sudah mengizinkannya untuk hidup bebas. Nyatanya, tempat bersandar yang ia anggap aman, telah mengkhianati setiap mimpinya. TW !! this story might contains ; gore, disturbing descriptions, suicidal thoug...