Kelas baru saja akan dimulai. Rovan telah memasuki kelas dan mengucapkan selamat pagi. Tak lupa menyunggingkan senyum keibuannya yang khas. Matanya yang sebelahnya tertutup poni kecokelatan itu menyipit sebab senyumannya.
"Sungguh melegakan melihat kalian baik-baik saja." ucapnya memulai.
Tangannya yang terbungkus sarung tangan hitam itu mengambil berkas, serta mengeluarkan beberapa lembar kertas darinya. Satu pekan sebelumnya, telah dilaksanakan ujian harian. Maka pagi ini, ia akan membagikan hasilnya.
Setelah satu persatu nama dipanggil dan diberikan hasil pengerjaannya, reaksinya bermacam-macam. Ada yang melompat kegirangan, ada yang tampak biasa saja, sementara sebagian lainnya tampak kecewa.
"Park Sunghoon."
Panggilan itu tidak dijawab. Rovan mengernyit. "Park Sunghoon?"
Akhirnya yang namanya dipanggil berdiri, mengusak matanya sekilas dan maju untuk mengambil lembar pengerjaannya. Wanita yang berada di depannya itu menghela napas.
"Kamu tertidur lagi, Sunghoon?"
Pemuda itu mengusap tengkuknya. "Eh.. emm.. ya.."
"Kamu dapat nilai yang terendah, Sunghoon." bisik wanita itu. "Seharusnya kamu mempersiapkannya. Nilai ini juga memengaruhi penilaian akhir nanti. Kamu paham bukan, bahwa saya selalu menginginkan yang terbaik untuk kamu?"
Sunghoon hanya mengangguk kikuk, menatap angka yang tertera di kertasnya. Ia sedikit sedih sebab hanya mendapat satu digit, tapi apa boleh buat?
"Kalau kamu memiliki beberapa hal yang susah untuk dipahami, tolong beritahu saya." ujar Rovan lagi. "Apa kamu punya masalah di rumah, Sunghoon?"
Laki-laki berkulit seputih susu itu menggeleng. "Enggak. Hanya saja ... aku jarang bisa tidur nyenyak. Jadi aku sering kelelahan dan nggak fokus ..."
"Kamu boleh meminta jam belajar tambahan kalau kamu membutuhkan. Sekarang, kembalilah ke tempatmu."
Sunghoon lantas berbalik dan kembali ke tempat duduknya. Baru saja ia duduk, Jay dan Jake langsung menoleh ke arahnya.
"Dapat berapa?" tanya Jake, tampak penasaran.
"Lihat saja sendiri."
Saat lembar kerja itu berpindah ke tangan Jake, ia tampak ingin menyembur tawanya. "Sembilan? Yang benar saja?"
"Ya, ya, tertawalah sepuasmu."
Jay mengernyit. "Bukankah sembilan nilai yang bagus?"
Jake menggeleng heboh, lalu menunjukkan lembar kerja Sunghoon pada Jay. "Bukan sembilan puluh, tapi sungguhan sembilan!"
"Apa kau nggak dimarahi?" tanya Jay prihatin.
Sunghoon menopang dagunya, menggeleng samar. Manik sayunya menatap jauh ke depan kelas, dimana wanita dengan iris cokelat itu berdiri dan tengah memeriksa buku presensi.
"Dia memberiku nasehat baik-baik. Padahal guru manapun pasti bakal ngamuk kalau ada murid yang menerima nilai sejelek itu. Selain itu ..." Sunghoon menggantung ucapannya, membuat kedua temannya menunggu.
"Ya?" sahut Jay.
"Entahlah, aku merasa dia sangat penuh ... kasih? Tiba-tiba saja aku merasa dia seperti sosok ibu yang sangat aku rindukan."
Ketiganya bungkam, melirik sosok wanita diujung sana yang senyum keibuannya tak kunjung sirna itu.
✄┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈«
"Sungguhan pergi sekarang? Kau baru sampai tadi pagi."
Beomgyu menatap kakak laki-lakinya malas. Ia sudah menggendong tas ranselnya dan bersiap keluar dari rumah keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Gizhi | ft. ENHYPEN and TXT
Fanfiction[ a sequel of Niñogiz ! ] Jungwon kira, Tuhan sudah mengizinkannya untuk hidup bebas. Nyatanya, tempat bersandar yang ia anggap aman, telah mengkhianati setiap mimpinya. TW !! this story might contains ; gore, disturbing descriptions, suicidal thoug...