"Apa ponselmu bisa merekam dengan baik?"
"Tentu! Ayo cepat, akan rugi kalau ternyata sudah selesai."
Heeseung menghadang dua siswa yang tampak berlarian mengikuti kerumunan yang berhamburan. "Sebentar, apa yang terjadi?"
"Ada yang bertengkar, mau ikut?"
Uh, tidak.
Sebenarnya Heeseung tidak terlalu peduli, niat awalnya ialah pergi ke kantin untuk membeli sekaleng soda dingin sebab cuaca yang hari ini lumayan panas. Tapi, siswa tadi segera menarik pergelangan tangannya dan ikut membawanya lari.
Mungkin melihat sebentar nggak apa-apa.
Di lorong utama sekolah, anak-anak berseragam telah bergerombol mengelilingi dua orang atau lebih yang tengah bergelut. Sebagian besar murid menjaga jarak mereka, sebagian yang lain merekam kejadian menggunakan kamera ponsel, sementara yang berpikiran jernih tengah memanggil guru untuk melerai keduanya.
Sebab satu orang dalam perkelahian itu tampak sama sekali tidak terkontrol.
"Kamu tahu apa? Mulut busukmu seharusnya diam saja. Diam. Diam!"
Heeseung mengangkat sebelah alisnya. Suara yang meninggi itu terdengar familiar.
"Kamu nggak paham. Ayo kubuat kau paham."
Lalu kerumunan menjadi semakin heboh. Heeseung mendekat perlahan, berusaha melihat bagian belakang sosok yang marah itu. Ia memukuli seorang anak yang lain dengan brutal, tanpa ampun. Menendang kepala anak itu, meninju rahangnya, menginjak perutnya lantas bersumpah serapah seakan amarahnya belum cukup tertumpah.
"Cukup! Kau bisa-bisa membunuhnya!"
"Memang itu yang aku inginkan! Dia sangat pantas untuk mati!" teriaknya. "Matilah kau, brengsek!"
Satu anak yang terkapar di lantai sudah mengalirkan darah dari hidung dan ujung bibirnya. Dasinya sudah tak tertata lagi. Ia memohon ampun berkali-kali. Tampak begitu rendah dan mengenaskan. Namun, yang tengah murka itu tampak masih belum redam.
Melihat itu, Heeseung serta merta melangkahkan kakinya dan mencekal tangan pemuda yang tengah marah itu.
"Lepaskan!" ia menyentakkan tangannya.
Heeseung menggeleng pelan, "Kamu sedang kacau."
"Menurutmu karena siapa aku kacau?"
"Aku tahu-"
"Aku harus membunuh bajingan ini!"
"Tidak-"
"DIA HARUS MATI!"
"YANG JUNGWON!" Heeseung mengeratkan cekalannya.
Yang lebih muda mendesis, menatap nyalang pada manik kakaknya seakan menantang.
Dengan itu, Heeseung membawa pergi adiknya itu dari kerumunan. Meninggalkan murid lain yang telah dipenuhi memar dan lebam disana-sini. Keduanya keluar dari kawasan sekolah, menjauh.
Jungwon tidak tahu kemana Heeseung akan membawanya, tapi ia pun tak begitu peduli. Merah wajahnya belum lagi padam. Padahal tinggal sedikit lagi ia bisa mencabut nyawa orang itu.
"Pulang, ya?"
Jungwon diam saja, enggan berkontak mata dengan yang lebih tua. Untuk kemudian ia dengar suara helaan napas darinya. Bahkan Heeseung masih memegang pergelangan tangannya walau mereka sudah cukup jauh dari sekolah.
"Kamu marah karena aku hentikan?"
"Hyung sendiri juga pasti ingin membunuhnya kalau dengar apa yang dia ucapkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
After Gizhi | ft. ENHYPEN and TXT
Fanfiction[ a sequel of Niñogiz ! ] Jungwon kira, Tuhan sudah mengizinkannya untuk hidup bebas. Nyatanya, tempat bersandar yang ia anggap aman, telah mengkhianati setiap mimpinya. TW !! this story might contains ; gore, disturbing descriptions, suicidal thoug...