08. Like Father, Like Son

3.1K 366 75
                                    

Dentuman keras dari pintu mobil hitam mengkilap itu menggema, bising yang diciptakan nyaris membuat lima insan di dalam mobil tersebut terlonjak.

“Kita akan berangkat sekarang, pastikan semua seatbelt terpasang dengan benar.”

Pelaku di balik dentuman dan bahana dingin itu adalah Dirga, sosok yang sedari tadi ditunggu oleh Edwin serta antek-anteknya.

“Minimal salam atau ketuk jendela dong, Dir. Ngagetin aja.” Edwin berkomentar ringan, ia menggeleng sembari melempar kekehan.

Dirga hanya melirik Edwin sekilas, tidak berminat memberi respon. Lantas, dia beralih pada empat anak kembar yang tengah duduk di bangku penumpang dengan ekspresi tegang.

“Kenapa dengan wajah kalian?” tanya Dirga, dibarengi kekehan di akhir. “Sudah dapat bocoran dari Edwin, ya?” sambungnya lagi, kali ini nada yang keluar sedikit lebih tinggi.

Keempat anak kembar itu menjadi salah tingkah, mereka menelan ludah dengan ragu–ragu dan berulang kali membasahi bibir. Namun, guna menetralisir ketegangan yang ada, mereka paksakan tersenyum sembari menggeleng yakin.

“N–nggak kok, Yah, aman,” jawab Ganta mewakilkan, didukung juga dengan anggukan dari tiga kembarannya yang lain.

Dirga kembali pada objek utama, menaruh atensi penuh pada Edwin yang mulai menyalakan mobil dan bersiap untuk menyetir. “Sudah beri tahu pihak sekolah, ’kan, Win, kalau hari ini saya mau datang?” Dirga berucap tenang seraya merapikan tatanan rambut serta kerah bajunya yang sedikit berantakan.

Empat penumpang di belakang kian merasa tertekan, wajah–wajah yang sebelumnya tegang kini bertambah layu dan kusut.

Kabar datangnya Dirga ke sekolah hari ini memang bukan fakta pertama yang mereka dengar, sebelum Dirga memaparkan pun, Edwin sempat membocorkan sedikit informasi mengenai keterlibatan sang Jenderal. Akan tetapi, empat kembar itu—Galen, Ganta, Genta, dan Gala masih enggan percaya sepenuhnya. Mereka beranggapan bahwa Edwin hanya menipu dengan niat menakut–nakuti.

Jangankan percaya, mendengarkan saja tidak. Galen, Ganta, Genta dan Gala malah mengejek serta menyudutkan Edwin seolah mereka adalah ketua dari geng pembully terkemuka yang biasa muncul di drama–drama. Beruntung, Edwin mau menerima semua itu dengan hati yang lapang. Kalau kata Ganta, Edwin benar-benar manusia paling sabar di semesta.

“Siap–siap enyah dah lo, Gal…” Lirihan Gala tertuju pada dirinya sendiri, wajah berparas tampan sekaligus cantik itu tergambar kesal dan resah.

Di samping Gala ada Genta, mereka duduk di bangku penumpang paling belakang dekat bagasi. Jika hari–hari biasa atau lebih tepatnya hari di mana hanya Edwin yang mengantar, dua cecunguk itu akan mengguncang mobil dengan nyanyian juga ocehan yang tidak ada habisnya, namun untuk hari ini, semuanya berbeda. Tidak ada nyanyian, tidak ada perbincangan. Keduanya mendadak beku dan kaku.

“Bener–bener bakal end, sih, Gal.” Mulut Genta memang berucap, akan tetapi, binar mata anak gembil itu tertangkap kosong dan redup. Sesekali ia hanya berkedip sembari mengelus–elus perutnya yang semakin hari semakin buncit. “Goodbye buat cireng sama cilok bang Jamal, setelah ini kita akan berpisah…” Genta bermonolog sedih, bibir sexynya ditekuk ke bawah. 

Tak jauh berbeda dengan penumpang di bangku belakang, rupanya Galen dan Ganta pun tengah merenungi nasib jika nanti sang Ayah tahu tentang segala kenakalan serta pelanggaran yang pernah mereka lakukan.

“Hancur image gue hari ini, Ta…” Galen menghela napas berat, membayangkan betapa seramnya raut murka sang Ayah jika ia tahu bahwa selama ini perannya di sekolah hanya sebagai tukang contek dan tukang tidur. “Ruang kematian, I’ m coming.” Lagi, Galen menghela napasnya, baru memberi usapan pada wajah pertanda dirinya telah pasrah.

Bentala & Jenderal [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang