13. Pasukan Baru; "Halo Dek!"

2.2K 319 74
                                    

Kata orang-orang, hubungan persahabatan yang mampu bertahan sampai lebih dari lima tahun akan sulit untuk dipisahkan. Yah, walaupun isi persahabatan itu tak selalu mulus; yang kadang kala diisi oleh pertikaian, ejekan, atau bahkan rasa iri.

Sama halnya seperti yang dicerminkan Edwin dan Dirga. Meski semalam keduanya sempat bersitegang—bahkan salah satunya sampai membentak, tetapi nyatanya pada pagi hari ini, mereka kembali terpantau sedang duduk berdua di meja makan. Nampak aman dan damai, seperti biasa.

“Dir, sorry, ya untuk yang semalam. Gue nggak bermaksud, hehe.”

Dirga hanya melirik Edwin sekilas, memberi jawaban seadanya dengan anggukan malas. Sontak karena itu, Edwin jadi mendekat—memangkas jarak seraya  mengacungkan dua jari kelingkingnya sebagai tanda permohonan maaf.

“Tuh ’kan masih marah, maapin ya brother. Janji nggak akan lancang lagi, janji nggak akan ikut campur—”

“Edwin jaga kewarasan kamu, kita sudah bukan anak kecil lagi.” Dirga tentu risih, ia pun kembali menjauhkan diri. Namun, pria sebaya di sampingnya justru semakin mendekat. Sangat dekat sampai-sampai Dirga nyaris tersungkur.

“Diam di situ atau saya tembak?!” ancam Dirga akhirnya.

Decakan kasar lolos begitu saja dari bibir Edwin, tak lupa menatap tajam iris sang lawan bicara seraya terus mengacungkan dua jari kelingkingnya tinggi-tinggi. “Yaudah, makanya janji dulu, Dirgooot!” tekannya sekali lagi.

Dirga menghela napas, matanya pun ikut dirotasi secara malas. Oh ayolah, mereka ini sudah bapak-bapak berkepala empat. Bahkan jika dipikir-pikir, keduanya pun sudah pantas bila dipanggil dengan sebutan Kakek. Bahu Dirga seketika bergidik, pria di depannya ini sungguh kekanakan.

“Sekarang saya tahu kenapa sikap dan tingkah anak-anak saya terkadang menjadi tidak jelas dan nyaris seperti orang gila,” balas Dirga sinis. Meski begitu, jari kelingking miliknya tetap dibawa untuk dikaitkan dengan kelingking Edwin.

Netra Edwin menyipit, ia memasang raut sebal. “Elah, segitunya banget! Lagian ’kan gue cuma minta maaf, bukan minta pacar lo.”

Perkataan spontan yang tak sengaja Edwin lemparkan rupanya telah berhasil membungkam Dirga. Entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas, pria berpangkat jenderal itu terlihat sangat gelagapan.

“Eh, sorry, Dir. Gue nggak maksud apa-apa kok, suer! G-gue udah legowo.” Edwin turut gelagapan, jika melihat ekspresi wajahnya saat ini—terpampang jelas bahwa ia sedang keceplosan.

Bak mantra sihir, kalimat Edwin yang menyinggung Dirga mampu merubah atensi di antara keduanya kembali menegang; mereka sama-sama diam dan mendadak salah tingkah.

Cukup lama seperti itu, hingga nada panggilan dari gawai Edwin mengalihkan keadaan.

“Halo? Edwin Anggara di sini?” sahut sang pemilik gawai, mengawali percakapan.

“Halo, Om Edwin. Ini aku—Mandala.”

Mendengar kata ‘Mandala,’ Edwin sontak mengangguk, matanya pun diarahkan ke posisi Dirga—memberi kode pada sahabatnya itu agar ikut bergabung dalam percakapan. Jika dilihat-lihat, sepertinya Mandala adalah orang penting.

“Ohh… Mandala. Iya, Da, ada apa?” Setelah menjawab demikian, Edwin segera menghidupkan pengeras suara yang tertera di layar gawai lipatnya.

“Maaf sebelumnya karena mungkin aku udah lancang dan menganggu waktu, Om.”

Edwin dan Dirga kompak mengangguk, meski sebenarnya Mandala jelas tidak bisa melihat itu.

It's okay, Da. Memangnya ada apa?”

Bentala & Jenderal [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang