“Jangan kasih tahu Ayah dong, Om ganteng…”
Edwin melipat bibirnya ke dalam, masih berusaha keras menahan gema tawanya agar tak terdengar oleh empat ABG labil yang tengah memohon itu.
“Om Edwin tahu nggak, sih, kalau kita berempat sayaaang banget sama Om Edwin. Om itu udah ganteng, baik, tajir lagi! Pokoknya best deh! Apalagi ditambah hati yang lembut nan pengertian, uwahh… perfect!”
Berbagai rayuan manis tak henti-henti Gala suguhkan. Terhitung, ini sudah kalimat ke-40 yang ia ucapkan demi meluluhkan hati Edwin.
“Nyenyenye. Saya nggak dengar, saya nggak dengar.” Sedang Edwin sendiri hanya merespon dengan ejekan, kedua tangannya pun ikut diangkat menutupi telinga.
“Aaaa, Om Edwin!”
Keempat prajurit itu menampakan raut kecewa, mereka mencebik sembari bergelayut di kedua sisi lengan Edwin yang tengah menyantap beragam hidangan khusus dari Gala dan Ganta.
“Gini aja deh, Om, Om Edwin bebas minta apa aja dari kita asalkan rahasia ini bisa aman dari Ayah.” Galen menawarkan jalan tengah, mencoba menggiur Edwin dengan negoisasi yang lumayan menguntungkan.
Edwin menimang tawaran Galen, jari telunjuknya dibawa ke pelipis seolah-olah sedang berpikir keras. “Hmm… gimana, ya?” Lantas, satu sendok pasta kembali ia suap ke dalam mulut.
Ganta dan Gala ada di sisi sebelah kiri lengan Edwin, mereka memeluk kencang lengan tersebut sembari menunjukan ekspresi gemas. Sedangkan Genta dan Galen, mereka berada di sisi kanan. Keduanya pun tengah memeluk lengan Edwin serta memajang raut pilu—berusaha sekeras mungkin untuk menyakinkan Edwin.
“Saya minta apa, ya…,” Edwin menelisik satu–persatu putra sahabatnya itu, senyuman licik mulai terbit pada wajah teduh dan menenangkan miliknya. Sungguh, dihadiahi tatapan memelas serta tampang menggemaskan dari Galen, Ganta, Genta, juga Gala sukses menambah kadar jahil dalam dirinya.
“Yaudah kalau kalian maksa, saya minta uang 3M aja deh, bisa?”
Mendengar itu Genta terhentak, bahunya seketika merosot. “Ya ampun, Om… tega banget, hiks! Dapatin uang 3M mah aku harus jual ginjal dulu, itu pun belum tentu laku,” sambarnya cepat, wajah eksotis Genta kian ditekuk dalam.
“Om tahu nggak, kita puasa uang saku berbulan-bulan pun nggak akan bisa kekumpul tuh uang 3M,” sambung Ganta lirih. Anak puppy itu justru sudah menerawang dan memperhitungkan jumlah digit saku yang terkumpul dari dirinya sendiri serta tiga kembar yang lain.
Edwin tertawa cukup keras, keempatnya bilang sih, mereka menganut prinsip kartun Siva yang mengatakan: jangan panggil kita anak kecil, paman! tetapi nyatanya, diberi candaan mendasar seperti tadi saja mereka percaya lalu merengek-rengek. Apakah itu yang disebut ‘bukan anak kecil?’
Edwin benar-benar dibuat gemas.
“Abisnya kalian sok banget, sih, segala mau kasih saya tawaran. Kalian lupa, ya, kalau saya punya julukan Anak tunggal kaya raya?” Edwin berucap keras dan sombong, walau tetap saja wajah elok miliknya masih didominasi raut jahil.
Galen mendecih tak terima, kemudian berujar spontan, “Anak tunggal kaya raya, kok, jomblo.”
Bibir Edwin langsung terkatup, telinganya terasa panas. Bagaimanapun juga, lontaran kalimat dari Galen sama sekali tidak salah. Di usia yang sekarang sudah setara dengan Dirga, dirinya masih terpantau suci tanpa noda—tubuhnya masih tersegel dan belum disentuh oleh para wanita. Kalau kata Genta, sih, ‘masih gress, no lecet-lecet.’
Sontak, netra pekat Edwin ditembak tajam pada tubuh mungil yang baru saja bersuara. “Galen…, kamu bicara apa tadi? Jomblo, ya?”
Ganta, Genta, dan Gala refleks menepuk kening masing-masing, si pendek dengan tingkat kesabaran tipis itu selalu saja gagal mengontrol tiap kata yang keluar dari mulutnya. Lantas, ketiganya serempak menoleh ke arah Galen, menatapnya dalam dengan wajah menahan amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bentala & Jenderal [On Hold]
FanficLembaran kisah antara Tuan Jenderal dan empat awak jejakanya. ___________________________ Menduduki pangkat tertinggi sebagai Jenderal tentu tak mudah, terlebih jika dipaksa menjadi orang tua tunggal dari empat cecunguk laki-laki kembar dengan sifat...