14. Kepada Malam, Dari Genta

2.3K 315 43
                                    

“Oalah, cok, cok! Jadi kalian berempat ini kembar, toh? Awokawok. Sebenernya waktu pertama kali ndelok wae aku wes duga, sih. Ternyata feelingku good juga, yo? Cuaksss!”

Hamka Prasetyo, pria dengan pahatan rahang tajam bak pangeran itu menyambar penuturan Galen dengan logat Jawa juga bahasa gen Z-nya yang khas. Maklum saja, beliau ini ’kan arek Suroboyo dan kaum TokTok asli.

“Hehe, i–iya betul kita kembar. Tapi kita kembar nggak seiras, beda jarak lahirnya juga cuma enam menit aja, kok.”

Galen terpaksa menebar senyum palsu. Pasalnya, belum sampai satu menit mereka ditinggalkan oleh Dirga dan Edwin—tetapi lihat, para calon pengawalnya itu sudah mulai menunjukkan sifat aslinya yang cukup membuat Galen geleng-geleng kepala.

Bah! Kembar rupanya, lucu juga aku tengok bocah macam ini dalam kenyataan. Kayak Upil-Ipil di kampung Durian Rubuh. HAHAHA!” Disusul pula sahutan lantang dari sosok laki-laki tinggi besar nan berotot kekar, ia adalah Laksamada—si anak Medan pemilik tahta tertinggi dalam sekomplotan kaum ‘Halo, Dek’ ini.

Mendengar sahutan yang demikian, Galen jadi semakin memaksakan senyumnya.

Bagaimana tidak, ia seperti mengalami culture shock karena tanpa sengaja telah bertemu dengan orang-orang jiplakan Genta dan Gala secepat juga sebanyak ini. Helaan napas pun terdengar, sungguh si sulung yang malang.

“Emm a–anu…  maaf, nih, para human abdi negara sekalian. Sebelum kita ngobrol lebih jauh lagi, enaknya saya sama tiga kembaran saya harus manggil kalian apa, ya? Abangkah? Kakak? Atau Mas?” Kali ini Genta yang berucap, anak berkulit tan itu sepertinya telah menemukan timing yang tepat untuk memulai percakapan.

Satu pria dengan alis mirip burung Camar  sempat terkekeh, lantas menepuk halus punggung Genta.  “Kalau kita, sih, biasa dipanggil Abang. Tapi terserah kalian mau panggil kita apa, senyamannya aja.”

Anggukan kepala kontan menjadi balasan, sontak Genta pun beranjak. “Okay! Kalau gitu kita panggil kalian Abang aja, hehe.”

Lantas setelahnya, Genta berjalan gontai menuju posisi empat manusia tampan berseragam tersebut duduk. Dia pun mulai menjabat tangan dan mengabsen satu-persatu nama mereka.

“Ekhem! mohon izin ya, Bang, saya mau coba hafalin muka kalian supaya bisa makin akrab gitu. Hehe.”

Hamka, Laksa, juga dua calon pengawal lain—Mandala dan Aranjuna langsung mengangguk kompak. Memang, sepasang pengawal dan prajurit itu tengah mencoba peruntungan untuk melakukan pendekatan sesuai dengan titah Edwin sebelumnya.

“Yang mukanya kayak pangeran tapi ngomongnya ‘cuaks-cuaks’ ini namanya Bang Hamka, terus yang badannya besar macam Agung Hercules namanya Bang Laksa, ada lagi yang ganteng khas orang Arab plus China namanya Bang Juna. Dan satu lagi, yang alisnya cekung mirip burung Camar ntu namanya Bang Man—Da?” Genta berhenti sejenak, alisnya bertaut. Ia pun menoleh pada objek yang namanya tengah disebut.

“Bang, biasa dipanggil apa? Nggak apa-apa, nih, Manda? Terlalu feminim—”

Actually, Andala is better. But, kalau Adek Genta nyaman—”

“Bang, maaf, maaaaf banget. Tapi, bisa jangan panggil Ngenta kaya gitu nggak? Saya geli, Bang, dengarnya… sumpah!” Gala bergidik, matanya menyipit membayangkan bocah tengil yang berstatus teman sekamarnya itu dipanggil dengan sebutan ‘Adik.’

Bentala & Jenderal [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang