11. Pengadilan Para Cecunguk

2.3K 338 64
                                    

“Aksa, lo apa-apaan, sih?!”

Gala berhambur menuju posisi Galen, berdiri congkak sembari mendorong keras bahu laki-laki gondrong di hadapannya yang kini menatap nyalang.

“Seharusnya lo tanya hal itu sama kembaran lo! Kenapa dia—”

Ucapan Aksa terputus, tubuhnya hampir limbung akibat bogeman yang tiba-tiba mendarat di pipinya. Itu adalah ulah Galen. “Kenapa sama gue?! Nggak suka lo?!”  Pemilik tubuh mungil itu menarik kasar lengan Gala ke belakang, memintanya supaya tidak ikut campur. “Maju lo, Sa,” ucapnya dingin.

Aksa mendecih, tersenyum remeh sembari memegangi dasar pipi mulusnya yang telah ternodai beberapa legam. Dia benci direndahkan seperti ini. “Fine, kita cari siapa pemenangnya.”

Keadaan lapangan menjadi sangat ricuh. Bukan lagi diisi oleh sorak-sorai kemenangan, melainkan teriakan melerai juga gema pukulan dari Galen dan Aksa yang sedari tadi sukar dihentikan. Keduanya sama-sama enggan dipisahkan.

“Genta! Bantu gue pisahin ni orang berdua anjir, jangan diem aja!”

Genta sejak tadi memang diam, dia tak banyak bergerak layaknya Gala yang berusaha melerai pertikaian dua orang kesetanan di tengah lapangan sana. Bukannya Genta tak mau membantu, hanya saja ia sudah terlanjur menikmati pemandangan ini. Lagipula, kembarannya, ’kan master pencak silat, jadi dia tidak perlu repot-repot khawatir akan terjadi sesuatu yang membahayakan pada tubuh minimalis itu.

“Selow,” Namun, pada akhirnya Genta tetap membawa tungkainya menuju titik permasalahan. Tidak terburu-buru, dia berjalan terlewat santai, “Parno banget si Gala, kayak nggak pernah liat Galen berantem—”

Perkataan Genta menggantung, irisnya terbelalak. Rupanya atensi perkelahian ini sudah sangat membara, saudara kembarnya itu benar-benar tak terkendali. Dia kesetanan. “Eh, anjir! Gila! L-Len udah Len, udah, cukup woi! Mati anak orang, Len berhenti. Please.”

Gala merotasi bola matanya malas, lihat kan, bahkan Genta lebih cerewet dan histeris untuk memisahkan dua anak adam itu setelah melihat kemarahan Galen yang tak main-main. Karena faktanya, pukulan, bogeman, atau tendangan sekalipun tak akan mampu membuat seorang Galen Senapati tumbang begitu saja. Saat ini dia benar-benar membuktikan bahwa dirinya adalah turunan Jenderal bintang empat.

“Bangun.”

Suara Galen terdengar berbeda, intonasi yang keluar terasa dingin dan menusuk. Raga di hadapannya itu telah terhuyung dengan napas memburu, sembari mencengkram kuat perutnya, ia berdiri, “Abisin gue sekarang, Len,” kata Aksa datar, terselip seringaian di ujung bibirnya yang sedikit sobek. Dia masih menyombongkan diri.

Jelas, Galen naik pitam. Apa katanya tadi? Habiskan sekarang juga? Baiklah, Galen akan lakukan dengan senang hati.

“Okay!” ucapnya santai, kedua sudut bibir Galen pun ditarik ke atas. Dia tersenyum.

Beberapa detik setelah itu, Galen langsung menarik lengan Aksa ke area koridor, mendorongnya kasar sampai punggung lawannya berbentur tembok.

“GALEN!”

Suasana kian panas, seluruh siswa dan siswi yang menonton turut menjerit ketakutan. Mereka tahu betul bagaimana seorang Galen yang sesungguhnya. Mereka menatap tubuh Aksa dengan cemas, beberapa siswi memilih pergi untuk memanggil guru, sedangkan beberapa siswa lain termasuk Genta dan Gala lari menyusul menuju koridor.

Bugh!

“Ini untuk kesombongan lo barusan,”

Bugh!

“Ini untuk rahang indah gue yang berani lo sentuh-sentuh,”

Bugh!

“Dan ini untuk kembaran gue yang pernah lo hantem kepalanya pakai bole basket!”

Bentala & Jenderal [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang