09. Ketegangan Dini Hari

3.7K 376 93
                                    

Ganta gelisah, tidurnya sama sekali tidak tenang. Matanya memang terpejam, tetapi tubuhnya tengah menahan sakit yang luar biasa.

Salah satu tangannya mulai menyentuh dada, mengelusnya perlahan. Cukup lama ia berkutat, rasa nyeri di dadanya tak kunjung hilang. Segera ia membuka mata, lantas bangkit menjadi setengah duduk.

“Suttt, kamu nggak usah lama-lama ngambek sama aku-nya, ya?” ucap Ganta sembari mengelus dadanya pelan-pelan. Mata anak itu sempat berkelana menengok situasi sekitar. “Lagian ini udh malam, nanti semua orang kerepotan…”

Ganta menarik napasnya lalu membuangnya perlahan, berusaha semaksimal mungkin supaya tidak mengeluarkan rintihan. Ia tidak mau membangunkan Galen yang sedang tidur nyenyak dengan posisi membelakanginya.

“Kayak lagi gempa, ih, semuanya goyang-goyang.”

Ganta berceloteh seorang diri, ia tahu bahwa semuanya terasa berguncang akibat kepalanya yang pusing. Namun, ia tidak mau terlalu menganggap dan meninjaunya lebih jauh. Karena kalau kata orang-orang sih, sakit kalau dimanja malah semakin menjadi.

“Mau ambil obat tapi tongkat kruknya jauh, nggak bisa jalan. Biasanya di nakas ada, tapi udah abis.”

Ganta masih bertahan, pusing dan nyeri di dadanya belum juga reda. Ia terus menjaga kesadaran dengan menggelengkan kepala seraya berbicara sendiri. Wajah sempurna itu kian memutih pucat, bibir yang sedari tadi dipakai untuk bertutur kini mulai membiru dan kering.

“Biasanya kalau udah begini, bentar lagi mimisan, nih.” Ganta mencebik, lengkung kurva pada senyumnya ditekuk ke bawah.

Dan benar saja dugaannya, tak lama setelah Ganta berucap tetes demi tetes cairan merah mengalir dari hidungnya. Seketika, tubuhnya melemas. Laki-laki manis itu mulai merasa kewalahan. “Nggak asik, ah! Dikit-dikit mimisan, dikit-dikit pusing. Emang lemah banget lo tuh, Ta.”

Galen, pemuda berperawakan mungil yang masih bergelut dengan dunia mimpi itu mulai merubah posisi tidurnya, ia hadapkan tubuhnya di depan Ganta. Mata sipit nan indah itu masih tertutup, tetapi tangannya tanpa sengaja bersentuhan dengan kulit sang kembaran yang terasa menyengat. Karena Galen bukan tipe manusia maniak tidur seperti Gala dan Genta, ia jadi terkesiap dan lekas terbangun.

Satu yang terngiang di pikirannya, pasti Ganta sedang tidak baik-baik saja.

“Ganta! Astaga, Ta! L–lo i–ini… kenapa nggak bangunin gue?!”

Galen terlihat seperti mengigau, tutur katanya pun masih terdengar berantakan. Jangan lupakan juga jajaran rambutnya yang berdiri tak beraturan. Ganta tertawa, Galen ini sungguh lucu.

“Malah ketawa! Gue nggak bercanda, Ta!”

Galen geram, di tengah rasa khawatirnya perihal keadaan sang kembaran, objek utama Galen justru menertawakannya. Tak mau terbawa emosi lebih jauh, Galen bergegas turun dari ranjang—berlari cepat menuju lemari obat di ujung kamar. Ia mengobrak-abrik isi lemari tersebut, lantas meraih beberapa hydroxyurea dan satu kotak tissue.

“Kenapa nggak bangunin gue dari tadi sih, Ta? Kan kalau kaya gini lo juga yang makin sakit.” Galen sigap dan telaten mengurus Ganta yang sudah tidak bertenaga, kembaran nomor duanya itu hanya terpaku sembari tersenyum kecil. 

Galen mengambil segelas air di atas nakas, membuka beberapa bungkus obat lalu memberikannya pada Ganta. “Nih, Nih, minum dulu. Pelan–pelan, yaa.” Sulung dari empat kembar itu sama sekali tak memperdulikan penampilan serta muka bantalnya. Jari-jemarinya secara lembut menyeka darah dari hidung Ganta dengan tissue yang tadi sempat ia ambil.

Bentala & Jenderal [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang