“Maaf, Pak! Saya nggak bisa terima kalau Aksa dibiarin gitu aja, seenggaknya satu hukuman harus dia terima!”Di sinilah Gala sekarang, terduduk di bangku yang berhadapan langsung dengan Bapak pembimbing konseling dan tersangka utama pelemparan bola basket—Aksa. Di mana lagi kalau bukan ruang BK.
“Tolong jaga nada bicara kamu, Gala. Bukannya tadi Aksa sudah jelaskan kalau dia tidak sengaja?” Guru muda di depan Gala dan Aksa bertutur halus, mencoba semaksimal mungkin bersikap netral pada dua manusia yang memang pada dasarnya sama-sama angkuh.
Gala posisikan dirinya menjadi tegap, irisnya menatap tajam pada Aksa yang masih duduk santai dengan wajah tanpa dosa. Gala semakin geram, tangan kekarnya diangkat untuk mencengkram kuat bahu Aksa. “Terlepas manusia gila ini sengaja atau nggak, perbuatan teledor dia harus tetap dipertanggungjawabkan, Pak!”
Wajah Gala merah padam, napasnya memburu. Perasaan kesal sekaligus dendam terus merundung hatinya sejak tadi. Rasanya ia sudah tidak bisa sabar lagi menahan semuanya. Sedari dulu, Gala selalu diajarkan oleh Dirga untuk mempertanggungjawabkan kesalahan, sekecil apapun kesalahan itu. Maka, ketika radarnya menangkap kejadian tidak adil seperti ini—terlebih objek utamanya adalah rekan sedarahnya sendiri, ia tidak bisa berdiam diri.
“Jaga sifat alay-nya, bisa?” ucap Aksa dingin, dilanjutkan tepisan halus pada cengkraman keras di bahunya akibat tekanan Gala. “Memang kembaran lo kenapa sih, mati? Enggak ’kan? Dia itu cuma pingsan, nanti juga bangun lagi.” Aksa kembali berucap, teramat tenang. Beberapa kekehan bahkan sempat ia lemparkan di depan Gala.
“Bajingan!” Gala bangun dari tempatnya, meremas kuat kerah baju olahraga yang dikenakan Aksa tanpa belas kasih. Didorongnya tubuh jangkung itu ke sudut ruangan, lantas menorehkan satu bogeman kasar pada pipi mulus Aksa. “Kembaran gue pingsan, mimisan, bahkan kepalanya sampai memar—dan lo sebut semua itu ‘CUMA’?! DI MANA OTAK LO, ANJING?!” Sebagai penutup, Gala kembali menorehkan pukulan kencang di area perut Aksa.
“GALA, STOP! JAGA PERILAKU KAMU!”
Akhirnya, guru muda tadi berteriak, memacu langkah menuju sudut ruangan. Lalu selanjutnya, ia cekal lengan Gala sembari membentengi tubuh Aksa agar tidak lagi dijadikan samsak dadakan. “Bicarakan semuanya baik-baik! Jangan sampai ada yang terluka—”
“Jangan sampai ada yang terluka Bapak bilang? Apa Bapak nggak tahu kalau saudara saya lagi nggak sadarin diri di UKS dari dua puluh menit yang lalu?! Semuanya nggak ada yang baik-baik aja, Pak! Aksa ini—”
“Berhenti berteriak atau saya telepon Ayah kamu sekarang?!”
Yang paling tua terpaksa memberi ancaman, karena jika hanya terus-menerus disuguhi kalimat kosong, seorang Gala Senapati tidak akan sudi membungkam mulut. Sontak Gala terdiam, memaku diri untuk tidak bertindak gegabah dan beringas lebih lanjut. Perlahan, ia lepas cengkraman di kerah Aksa. “Sorry, gue sengaja,” tandasnya congkak.
Lantas, mencegah supaya dua taruna di hadapan tidak lagi berseteru, Guru BK muda itu segera menggiring Gala dan Aksa menuju kursi yang sebelumnya mereka tempati.
“Saya mohon jangan ada keributan lagi, hargai saya sebagai guru kalian di sini.” Gala dan Aksa mengangguk acuh, saling membuang muka satu sama lain. “Aksa, nanti waktu Ganta sadar, kamu segera temui dia dan minta maaf. Juga masalah hukuman, saya serahkan sepenuhnya pada Ganta.”
“Maaf, Pak, kenapa saya harus minta maaf? Saya nggak merasa salah sama sekali, udah berapa kali saya bilang kalau saya nggak sengaja.” Aksa yang sedari tadi hanya diam ketika dicecar Gala habis-habisan kini mulai bersuara, nada bicaranya tidak ada seruan ataupun gertakan. Anak berbibir tebal itu berucap tenang, namun tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bentala & Jenderal [On Hold]
FanficLembaran kisah antara Tuan Jenderal dan empat awak jejakanya. ___________________________ Menduduki pangkat tertinggi sebagai Jenderal tentu tak mudah, terlebih jika dipaksa menjadi orang tua tunggal dari empat cecunguk laki-laki kembar dengan sifat...