“Ibu, Gala mau Ayah..”
“Gala nggak mau makan kalau nggak ada Ayah.”
Wanita kepala empat yang Gala sebut sebagai ‘Ibu’ pun menghela napas, terhitung sudah kali ketiga ia membujuk sang tuan kecil untuk memakan buburnya, akan tetapi, anak berumur lima tahun di hadapannya tetap bersikeras menolak.
“Eh, Adek nggak boleh gitu.. Inget nggak tadi pagi di telepon Ayah bilang apa? Kan, kata Ayah Dirga kalau besok demam Adek udah turun, Adek mau diajak beli mainan. Emangnya Adek mau besok nggak jadi pergi karena Adek masih sakit?”
Gala kecil menggeleng, mata dan hidungnya sudah merah karena demam dan flu yang menyerang. Bahkan, kini anak itu tengah terkulai lemas di kasur dengan piyama lengan panjang ditambah dua selimut juga plester penurun panas di dahinya.
“Gala mau beli mainan, Ibu..” Gala menyahut lirih, membuat wanita tersebut tersenyum.
“Iya, Adek besok beli mainan sama Ayah. Tapi sekarang makan dulu, ya, abisin buburnya sama Ibu.”
Gala merubah posisinya menjadi setengah duduk dibantu si wanita. Sebelum menyuapi majikan kecilnya, wanita tersebut pun sempat mengecek suhu tubuh Gala dengan meraba kening dan lehernya. “Aduh, anak Ibu sakit, ya.. nggak apa-apa, besok sembuh terus beli mainan. Oke?”
Senyuman kecil terbit di wajah Gala. “Oke, ibu,” jawabnya lembut.
Wanita yang Gala panggil Ibu mengangguk semangat, dia dengan telaten menyuapi majikan yang sudah ia nggap anak sendiri—mengingat dirinya juga memiliki anak laki-laki dengan usia yang sama. Namun, baru beberapa sendok bubur yang masuk ke mulut, bocah lima tahun di hadapannya mengeluh mual. Alhasil, ia muntah dan memaksa berhenti makan.
“Ibu udah, Gala nggak mau makan. Mau Ayah aja, Bu..”
Gala sudah ada di gendongan Ibu, anak tampan itu terus saja meminta sang Ayah untuk segera pulang. Ia menangis terisak di ceruk leher Ibu.
“Iya, nanti sama Ayah, kok. Besok siang ’kan Ayah udah pulang.”
“Nggak mau, Bu. Mau Ayah sekarang!”
Si Ibu pun kebingungan. Tuan kecil yang satunya ini memang sedikit keras kepala daripada yang lain. Segala keinginannya adalah hal mutlak. Tidak bisa diganggu dan ditentang.
Di tengah rasa bimbang dan resahnya itu, suara ketukan pintu kamar tiba-tiba terdengar. Diiringi dengan nada bicara yang sangat keduanya kenali—Dirga—Ayahnya Gala adalah pelakunya.
“Ibu! Itu Ayah, Bu!” Gala memberontak dari gendongan, wajah piasnya berbinar.
Dirga akhirnya masuk, raut lelahnya benar-benar kentara. Seragam hijau loreng serta baret khas Jenderalnya masih melekat pada tubuh. Ia pun berjalan mendekat ke arah Gala dan Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bentala & Jenderal [On Hold]
FanfictionLembaran kisah antara Tuan Jenderal dan empat awak jejakanya. ___________________________ Menduduki pangkat tertinggi sebagai Jenderal tentu tak mudah, terlebih jika dipaksa menjadi orang tua tunggal dari empat cecunguk laki-laki kembar dengan sifat...