“Harus dengan cara apalagi Ayah mendidik kalian?”
Helaan napas terdengar di ruang tunggu yang saat ini para Senapati singgahi, sosok utamanya tengah terduduk lemas sembari menatap nanar wajah-wajah rupawan yang kini tertunduk.
“Apa kalian tidak pernah berpikir bagaimana perasaan Ayah jika kalian juga sampai menyusul Ganta di dalam sana?” Dirga mengalihkan pandangan, menoleh ke arah ruang UGD yang pintunya masih tertutup rapat.
“Kalian mau meninggalkan Ayah sendirian, ya?”
“Kalian mau mengingkari janji, ’kan?”
“Kal—”
Ucapan Dirga terputus, sengaja tak ia lanjutkan. Ini kali pertama bagi Jenderal berbintang empat itu meruntuh serta menumpahkan sedihnya di depan para prajurit. Juga, kali pertama untuk Galen, Genta, pun Gala mendapati raut kecewa dan kehancuran pada raga kokoh sang Ayah.
“Tolong, jangan biarkan Ayah merasakan kehilangan lagi…”
Seketika tiga remaja yang tengah menunduk itu mengangkat kepala, mereka tertegun menyaksikan keadaan sang Ayah yang benar-benar berantakan.
Sungguh, nadi Dirga nyaris terputus saat ia mendapat telepon dari seseorang yang memberi kabar bahwa tiga putra kembarnya mengalami kecelakaan. Hanya kecelakaan kecil memang, namun entah mengapa hati dan pikiran orang tua tunggal itu tetap dirundung ketakutan. Pikirannya sudah bercabang, melalang buana membentuk segala macam spekulasi serta kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada tiga prajurit ciliknya.
“Ayah, maafin Abang, Abang yang salah karena nggak bisa jaga dan nasihatin semua adik-adik Abang. Maafin Abang Ayah.”
Si sulung menunduk dalam, tidak berani menatap iris Dirga yang kini kontan basah. Anak dengan bahu ringkas itu tengah mati-matian menahan diri agar tidak ikut menangis.
“Ayah maafin Adek,” lirih si bungsu, Gala.
Sosok berparas tampan nan cantik yang barusan melirih telah berderai, bahkan sampai sesenggukan.Kini tersisa Genta, bocah tan itu sudah berdiri di samping Dirga, lelehan air pun telah menggenang di dasar pipi gembulnya. Sontak, ia berujar sembari memegangi kedua telinga, “A–Ayah maafin Genta, ya? Ini telinganya udah Kakak jewer, kok. M–maaf.”
Atensi di ruang bernuansa putih yang menaungi Dirga serta anak-anaknya tengah diselimuti mendung, insan utama yang sedari tadi diajak bicara masih enggan membuka suara dan merespon permintaan maaf tersebut. Ia terduduk, menarik napas dalam-dalam sembari menatap penuh harap pada pintu ruang darurat yang telah menahan Ganta sebegitu lamanya. Ia bahkan sengaja mengacuhkan tiga pasang mata yang tengah menanti atensinya dengan binar sendu.
Dirga benar-benar marah. Dia kecewa.
“A–Ayah jawab Abang,”
Sekarang Galen tak mampu menahan tangis lagi, menurutnya lebih baik sang Ayah memberi hukuman keras seperti biasa daripada dia didiamkan seperti ini. Setelah berucap demikian, daksanya dibawa berjongkok—berlutut di hadapan Dirga—diikuti Gala dan Genta sembari memegangi kedua telinganya.
“Ayah kita bertiga mengaku salah, kita udah egois—nggak mikirin perasaan Ayah. Kita nyesal, Yah. M–maaf…”
Pernyataan tersebut tak ayal membuat Dirga tersentuh, akan tetapi, dirinya masih enggan bersuara dan bertindak lebih banyak. Untuk saat ini ia hanya ingin diam.
Beruntung, di sana Dirga tak sendiri—ada Edwin yang menemani. Sahabat sekaligus tangan kanannya itu sudah jadi penonton setia dari pertikaian Dirga serta tiga putranya. Sejujurnya, ia tak tega dan ingin melerai. Namun jika dipikir kembali, kesalahan yang diperbuat para cecunguk memang wajib diberi pelajaran agar mereka bisa jera dan kapok.
![](https://img.wattpad.com/cover/314594177-288-k222807.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bentala & Jenderal [On Hold]
FanfictieLembaran kisah antara Tuan Jenderal dan empat awak jejakanya. ___________________________ Menduduki pangkat tertinggi sebagai Jenderal tentu tak mudah, terlebih jika dipaksa menjadi orang tua tunggal dari empat cecunguk laki-laki kembar dengan sifat...