Part 7 - Unexpected Accident

1.4K 90 4
                                    

“Mau digenggam seerat apapun, jika bukan takdirmu, maka akan terlepas juga.”

***

Ada kelegaan di hati Nisa saat dia bangun pagi ini. Ya, walaupun dia habis menangis semalaman, hatinya sudah agak ringan. Apa yang seharusnya berakhir, kini sudah dia lepas. Sekarang, waktunya untuk serius menenangkan diri. Sebagai awal, apa dia harus mulai menggambar? Ah, tapi sepertinya tidak bisa jika sekarang. Karena Lifa dan teman-temannya yang lain sudah siap dengan segala alat kebersihan. Ya, seperti tahun-tahun sebelumnya, sehari sebelum puasa, santri-santri di sini akan melakukan kerja bakthi membersihkan lingkungan kampung dan musala-musala.

“Kak, aku ikut.”

Suara Nisa membuat Lifa menoleh.

“Makanya, bangun dari tadi dong. Rebahan mulu. Kita tinggal tahu rasa kamu.”

“Ya, ya.”

Dia lalu bergabung dengan yang lainnya dan berbagi tugas. 

Selama kegiatan itu, Nisa merasa bisa menghirup udara segar setelah beberapa hari ini dadanya terus sesak. Namun, saat selesai dan semua santri kembali, dia tak sengaja melihat Faiz yang membawakan kardus minuman pada pengurus pondok putri. Walau hanya sekilas, hati Nisa kembali berdebar lara. Padahal, dia berniat mengikhlaskan, tetapi tetap saja, rasa sakitnya tak semudah itu hilang.

“Udah kali, gak usah dilihatin terus. Katanya mau ikhlas?” 

Teguran Lifa membuat Nisa kembali tersadar kemudian meminum airnya. Dia lalu berbalik menggoda Lifa.

“Kalau mau lihat Gus Rifat, lihat aja kali, Kak. Gak usah nyela orang.”

“Idih, siapa juga yang mau lihat?”

“Bener gak mau? Padahal, dia lagi cuci muka tuh. Duh, seger banget kelihatannya,” ujar Nisa seakan terpesona. Padahal, dia biasa saja.

Lifa tak membalas, tetapi wajahnya sudah memerah, bahkan sebelum dia benar-benar melihat pria yang disukainya.

“Eummm ... Kamu pikir, Gus Rifat gimana orangnya? Apa aku punya kesempatan?”

Pertanyaan Lifa membuat Nisa mendatarkan pandangan. Benar, kan? Akhirnya, kakak sepupunya ini mengakui perasaannya.

“Dia baik. Ganteng sih kurasa, tapi-” ujar Nisa memperhatikan Rifat yang berada di dekat Faiz. Jarak di antara mereka cukup jauh hingga tak masalah jika Nisa membicarakannya. Anak-anak lain sebagian besar juga sudah masuk ke dalam pesantren.

“kemungkinannya kalian gak bisa bersama,” lanjut Nisa.

Lifa menghela napas lesu. Dia menunjukkan senyum paksa.

“Hhh, apa ini penilaian subjektif? Cuma karena kamu gagal sama Gus Faiz, jadi kamu pikir aku juga gak punya kesempatan gitu?” 

Lifa kini mengangkat kepala dan ikut melihat ke arah Rifat. Para gus itu berdiri di dekat gerbang sekarang.

“Ya, tapi meskipun bukan karena itu ... keluarga kita beda, kan? Gus biasanya menikah dengan yang setara sama mereka juga. Terus belum tentu paman sama bibi setuju.”

Lifa memegang kepalanya seakan berpikir. 

“Bener juga, sih. Tapi, gak mesti. Ayah sama ibuku kan semuanya lulusan pesantren. Jadi, mungkin mereka-”

Belum sempat Lifa menyelesaikan kata-katanya, seseorang mengintrupsi.

“Permisi, Mbak … mau tanya.”

Itu kurir.

Orang-orang yang masih di sekitar mereka termasuk Syifa ikut memusatkan perhatian pada pria paruh baya dengan tas besar itu.

Fazahra AkmilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang