Part 12 - Yang Sakral

1.4K 94 7
                                    

“Pernikahan adalah ibadah terlama. Karenanya, untuk menjalaninya harus dengan cinta. Sebab tanpa cinta, ibadah apapun akan sia-sia.”

***


Banyak perempuan yang memimpikan pesta pernikahan bak di negeri dongeng. Namun, meski pernikahan yang seperti itu bukanlah impiannya, Nisa tetap berharap bisa menikah dengan sewajarnya. Mengikuti prosesi dengan suka cita, makan-makan, juga mengundang teman-teman. Karena baginya, akad nikah adalah sesuatu yang suci dan sakral. Akan tetapi, bukankah takdir memang tak pernah sesuai harapan manusia? Walau harapannya begitu sederhana.

Subuh ini, setelah melakukan salat berjamaah bersama. Dengan pakaian seadanya yang diambilkan Lifa dari pesantren, Faiz dan Nisa akan melangsungkan akad nikah. Hanya dengan Kyai Said sebagai penghulu, Ayahnya Zain sebagai wali nikah, juga kehadiran Zidan yang baru Nisa ketahui sebagai ayah kandung Faiz, tidak lupa dengan Bu Nyai Saidah, Lifa dan Rifat sekaligus beberapa petugas rumah sakit yang menjadi saksi.

Di antara hawa pagi yang dingin dan hening itu, akad ini dimulai.

Audzubillahi minassyaithoonirrajim. Bismillahirrahmanirrahim. Astaghfirullahaladzim. Astaghfirullahaladzim. Astaghfirullahaladzim. Min jami’i wa ‘ashii wadzunuubii wa atubu ilahi. Asyhadu an laa ilaha ilallah, Wa asyhadu anna Muhammadun Rasulullah ...”

Lafaz itu diucapkan bersama-sama oleh Zain dan Faiz yang berjabat tangan. Hati Nisa bergetar mendengarnya. Seolah akan ada beban berat yang ditimpakan ke pundaknya yang rapuh. Sampai ayahnya melanjutkan ijab sendirian, dia masih tidak tahu mengapa Zain yang semarah itu padanya bisa melakukan prosesi ini dengan lantang dan tenang. Begitu juga dengan Faiz yang menikahinya dadakan, entah bagaimana bisa mendapatkan mahar besar. Meski bisa saja itu sudah dipersiapkan untuk rencana pernikahannya dengan Syifa sebelumnya ... rasanya tetap mengherankan.

Terlepas dari itu semua, Nisa berpikir apakah tindakannya sudah benar, sekarang? Apakah menikah dengan Faiz adalah pilihan yang baik untuknya? Dia menikah tanpa dibersamai ibunya. Kira-kira bagaimana perasaan ibunya jika mengetahui hal ini nanti?

Dalam kecemasan yang campur aduk, Nisa hanya bisa berdoa ... jika pernikahan ini memang takdir yang Dia kehendaki ... Allah, tolong lapangkan hatinya, hati Ayahnya, Ibunya dan orang-orang yang dia sayangi. Dia berharap semoga tak ada yang tersakiti dengan keputusannya, dengan pernikahannya.

“Ya, Faiz Akmal Zidan bin Zidan Hammad, ankahtuka wa zawajtuka ibnati Annisa Zahra Kamilah bi mahri stamaniyatun dinar wa stamaniyyah dirham naqdan.”

“Qobiltu nikahaha watazwijaha bi mahri dzalika halan.”

Tes! Tes! Tes!

Tanpa dirasa, air mata Nisa menetes sampai membasahi tangannya. Dirasakannya, seseorang memegang bahunya. Dengan suara berat dan serak khas orang menahan tangis, Bu Nyai Saidah berbisik.

Alhamdulillah, barakallahu lakuma, Nduk ... sekarang kalian sudah menikah. Saling berpeganglah pada ketauhidan, berbakthilah dengan baik dan setia. Tolong, jaga Faiz baik-baik.”

Nisa tak bisa menjawab, air matanya hanya kian mengalir deras. Sementara Lifa menepuk-nepuk punggungnya, Zain hanya menatap Nisa tanpa ekspresi. Dia pergi tanpa mengatakan apa-apa pada putrinya lalu berbincang dengan Zidan di luar.

Hati Nisa terasa lebih sesak. Dia tahu, ayahnya masih menyimpan amarah padanya. Namun, tidak bisa kah untuknya mendengar wejangan dari orang tuanya sendiri tentang pernikahan ini walau sedikit?

Allah, padahal dia sedang menyempurnakan separuh dari agamanya. Tapi, seakan tak tersisa rasa bahagia.

Apa pernikahan yang seperti ini bisa Engkau ridhoi? Nisa bertanya-tanya dalam hati.

Fazahra AkmilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang