Part 15 - Non-Disclosure

1.5K 77 0
                                    

“Kepercayaan adalah pondasi, jika belum apa-apa hal itu sudah roboh, bagaimana bisa sebuah pernikahaan berdiri kokoh?”

***


Apa dasar suatu hubungan? Kepercayaan? Keterbukaan? Bukankah seharusnya begitu jika ingin memulai pernikahan ini dengan benar? Tapi, kenapa pria yang sah disebut suami itu tak memberitahu apapun pada Nisa? Bahkan, santri-santri ndalem yang bertugas membantu keperluan keluarga kyai masih lebih tahu kesibukan Faiz daripada dirinya.

Nisa merasa cemburu. Tapi, apa Faiz pernah memikirkan perasaannya?

“Kamu belum tidur?”

Pertanyaan itu membuat Nisa menatap Faiz setengah jengkel. Ini sudah jam 9 malam dan dia baru pulang.

“Apa aku bisa tidur? Bahkan, saat aku gak bisa jawab jika ada yang nanya suamiku ke mana sampai gak ikut tarawih?”

Deg! Faiz membeku setelah melepas jasnya. Ada alarm peringatan di kepalanya yang memberitahu bahwa Nisa sedang marah padanya.

“Aku juga gak bisa menghubungimu karena kita belum tukeran kontak,” keluh Nisa. Dia menggerakkan badan dan memutar bola mata lelah lalu mendesah.

“Hah, sebenarnya kita suami-istri bukan sih? Padahal, kemarin kamu yang ngajak buat ngejalanin pernikahan ini dengan benar. Jadi, apa kayak gini?” lanjutnya dengan marah.

Faiz mendekat tanpa suara. Dia mengulurkan tangannya dan memeluk Nisa sebelum menjawabnya.

“Maaf.”

Mendengar kata itu, mata Nisa berair, dia berusaha mendorong Faiz. Namun, pria itu menahannya dengan baik.

“Aku lelah karena hari ini ngurus banyak hal, tapi bisa meluk kamu kayak gini, capekku jadi ilang. Apa amarahmu gak bisa hilang juga, Dear?” tanya Faiz dengan nada rendah. 

Gerakan pemberontakan Nisa terhenti. Matanya yang semula memancarkan kekesalan berganti terlihat bersalah. Namun, bukan maksud Faiz membuat istrinya merasa seperti itu.

Pria itu mengeratkan pelukannya. 

“Atau butuh lebih lama peluknya supaya kesalnya hilang? Aku bisa bertahan 5 menit, 10 menit, 1 jam ... sampai kamu reda.”

Jantung Nisa berdetak kencang. Dia juga merasakan Faiz mengalami hal yang sama. Padahal, awalnya dia berniat ngambek selama Faiz tidak menebus kesalahannya. Tapi, jika seperti ini, apa dia bisa lama-lama marah?

“Kalau kayak gitu, aku yang gak kuat berdiri. Kakak pikir, pelukan gini gak pengap?”

Dada Faiz yang tadi berdebar hebat memperlambat tempo karena ucapan Nisa.

Memang, dasar gak bisa diajak romantis! bathin Faiz.

Dia sengaja mengeluarkan tawanya dan memeluk erat Nisa sebelum melepaskannya.

“Bilang aja aku bau keringet, Dear,” ujarnya lalu mencubit pipi Nisa dengan gemas.

Nisa menarik paksa tangan Faiz dan berpura-pura kesal.

Fazahra AkmilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang