Part 8 - Segalanya Berantakan

1.3K 84 5
                                    

“Karena cinta ini datangnya dari-Mu, untuk menyelesaikan segala urusannya, tentunya hanya bisa kembali mengandalkan-Mu, Allah.”

***

Plak!

Tamparan itu tidak main-main. Semua orang yang ada di lorong rumah sakit ini tahu. Sedangkan, Faiz hanya bisa menunduk, dia sadar jika dirinya telah salah dalam keadaan ini.

“Kita bicarakan masalah ini setelah Syifa sadar. Sebelum itu, jangan buat kekacauan apapun lagi!”

Kyai Said lalu berbalik. Di tangannya, ada foto laknat yang menjadi sebab insiden terjadi.

“Dan kamu yang namanya Nisa kan, Nduk?” tanyanya dengan nada rendah. 

Nggeh.”

Walau Nisa juga salah, tetapi Kyai Said tidak menunjukkan amarahnya sebesar dia memarahi Faiz.

“Abah tahu apa hubungan kamu dengan Faiz, anakku. Tapi, Abah tidak tahu kalian pernah melakukan perbuatan seperti dalam foto ini. Jadi, untuk menyelesaikan masalah ini, Abah akan menghubungi orang tuamu.”

Deg!

Nisa terhenyak. Dia refleks menatap pria paruh baya di depannya dengan ekspresi terkejut. Sebelum datang ke sini, dia sudah berbuat kesalahan. Jika pihak pondok menghubungi papinya karena masalah ini, bagaimana bisa Nisa menghadapi Zain nanti?

“Mohon maaf, Pak Kyai. Apa yang ada di foto itu bukan-”

Penjelasan Nisa terpotong karena Kyai Said mengangkat tangannya.

“Tahan penjelasanmu saat orang tuamu datang nanti.”

“Tapi, Pak Kyai!”

Belum sampai Nisa melayangkan protesannya lagi, Kyai Said sudah berbalik pergi bersama Bu Nyai Saidah untuk mengurus administrasi.

Tepat setelah itu, seseorang yang baru datang langsung meneriaki Nisa.

“Heh, Nisa! Semua ini gara-gara kamu, kan? Gara-gara kamu Syifa jadi celaka!”

Nana mencengkram kedua lengan Nisa.

“Berani-beraninya kamu datang ke pesantren dan menggoda Gus Faiz sampai melakukan hal semenjijikkan itu? Apa kedatanganmu ke pesantren emang sengaja mau membatalkan pernikahan mereka? Bener-bener gak tahu malu! Gak punya harga diri!” caci Nana. Wajahnya basah dengan air mata.

Zahra, anak bungsu Kyai Said menarik lengan Nana.

Uzdkurulillah,[1] Mbak Nana. Sholallahu ala Muhammad ... Tenang,” ujar Zahra sembari mengelus-elus bahunya. Nana menangis, bibirnya mengucapkan istighfar.

Seorang suster yang muncul dari ruang operasi langsung menegur.

“Mohon maaf, Bapak, Ibu ... bisa dipelankan suaranya? Ini rumah sakit,” katanya setelah membuka masker.

“Baik, Suster ... Maaf telah membuat keributan. Bagaimana keadaan Syifa? Apa semuanya baik-baik aja?”

Rifat mencoba menanyakan keadaan Syifa yang sedang menjalani operasi darurat.

“Kondisi pasien kritis, Pak. Dia kehilangan banyak darah dari luka kepalanya. Kira-kira di sini siapa yang keluarga korban? Dia membutuhkan donor darah segera.”

Perkataan suster itu membuat Nana menutup mulutnya. Dia kalut karena dia tahu kedua orang tua Syifa telah tiada dan tidak mungkin keluarga Syifa yang lain akan datang ke sini.

“Apa tidak ada stok darah di rumah sakit ini, Sus?” Kali ini Zahra yang khawatir.

“Maaf, Dek. Golongan darah pasien cenderung langka dan stok darah AB di sini tidak cukup.”

Fazahra AkmilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang