Lembayung Asa

0 0 0
                                    

  Tidak biasanya Christy meminta untuk dijemput seperti ini. Apalagi hanya untuk sekadar ke gereja. Sebenarnya aku tahu tujuannya mengapa, sehingga ada sedikit perbedaan kali ini. Disebalik rona hangatnya, dia paham betul dengan apa yang akan terjadi kedepannya.

Disepanjang jalan yang berkubang, tak ada satupun dari kami yang mencoba angkat bicara. Motor kupacu melintasi jalan kota yang lembab dan licin. Hujan Desember mengguyur seharian di seantero kota. Menyisakan kubangan dan dedaunan basah. Hal yang wajar disetiap menuju penghujung tahun. Apalagi, besok adalah hari Natal.
 
Sejuk dan masih agak gerimis yang perlahan reda juga. Udara dingin mencolek-colek tengkuk dan tanganku yang luput dari balutan jaket. Karena merasa udara ini dinginnya kian menjadi, kukebut motorku dan menyalip beberapa kendaraan. Menggilas beberapa kubangan air dan terciprat kemana-mana. Christy yang biasanya akan protes jika aku seperti ini tak biasanya hanya diam saja. Tak lebih hanya mempererat dekapannya dipinggangku, hangat.

Setelah melalui beberapa persimpangan dan lapak para pedagang pernak-pernik Natal, aku menuju ke satu-satunya gereja di kota ini. Sebenarnya kami datang terlalu awal. Walaupun disana terlihat satu dua orang jemaat atau mungkin panitia, entahlah. Tapi tak apa, ini membuka ruang untuk kami berbicara.
 
Kuparkir motorku di tepi jalan, tepat di seberang gereja yang kami tuju. Christy lebih dulu berjalan ke arah bangku taman yang tersedia. Memperbaiki dandanan dan rambutnya yang diacak angin jalanan. Aku mendekat, tersenyum dan duduk di sampingnya. Dia meresponnya dengan senyum juga, merona manis selalu seperti sejak awal jumpa.

Kusenderkan pundakku yang seolah berat memikul beban yang tak terlihat. Kumenerawang ke langit dan awan, cerah dengan megah jingga. Seolah tak pernah hujan barang semenitpun. Mungkin karena heran dengan tingkahku yang menatap kosong ke cakrawala tak berujung, kurasakan tangannya menggapai jemariku lembut. Fokusku buyar dan berpaling menatapnya. Belum ada yang berani bersuara, kami hanya bertatapan sekian saat. Mungkin saat ini kami, atau hanya aku terlihat seperti orang linglung.

Tatapannya masih terpaku ke diriku. Seolah menyelidik keraguan di antara tatapanku. Hingga aku merasakan kejanggalan yang seolah menggelitik Sukma, lalu pecah terbahak-bahak. Dia ikut tertawa bersamaku, mungkin merasa lucu dengan keanehanku. Darahku kian berdesir, sadar betapa dia menerima segala yang ada padaku dengan apa adanya. Barulah kami mengobrol banyak hal, basa-basi, dan bersenda gurau seolah tiada akhir. Suasana di antara kami perlahan mencair.
 
Sejenak lupa dengan kalut yang mengganggu akhir-akhir ini. Akhirnya aku bisa sedikit tertawa lepas. Hingga kami kehabisan bahan obrolan dan kembali ke pikiran masing-masing. Kemudian Christy kembali membuka suara.

  " Eneng paham betul bagaimana desahnya Aa' " katanya sambil menatap kosong ke arah jalan. Terlihat satu dua orang jemaat mulai berdatangan.

  Aku membuka mulut untuk berbicara, namun tak ada suara yang sanggup ku keluarkan.

  " Eneng yakin setiap masalah ada terangnya. Eneng percaya Tuhan selalu mempersiapkan yang terbaik untuk hamba-Nya. Bukankah Tuhan Allah pernah berkata, bahwa Dia tak akan menguji umat-Nya diluar kesanggupannya ?" Kata-katanya adalah angin teduh yang membesarkan hati.

  "Eneng selalu mendoakan kebahagiaan kita kedepannya. Meminta tak ada kata berpisah. Aa' juga berdoa terus, ya. Memohon ketabahan. Kita berdoa je Tuhan masing-masing, hingga kita tahu Tuhanmu atau Tuhanku yang lebih dulu menjamah doa hamba-Nya."

  Lalu pandanganku benar-benar kabur digenangi air mata yang tertahan. Dia berkata apa adanya, tetapi berhasil menguji harga diriku sebagai laki-laki untuk tidak menangis. Kualihkan perhatianku pada lembayung senja yang semakin merona. Mendoakan harapan baru untuk menggapai asa pada Yang Esa. Lalu setelahnya, dia mendekapku untuk menguatkan.

Senja semakin tampak, hingga cahayanya bagai kabut yang biru. Lampu-lampu jalan mulai menyala satu persatu. Para jemaat mulai ramai berdatangan. Christy pamit untuk pergi. Dia melenggang menuju jalan raya. Dan sebelumnya menyebrang, dia membalikkan badan dan melambaikan tangan tanda berpisah. Memberikan senyuman termanisnya. Dia berhasil melukis kesan yang mungkin akan selalu kukenang. Kemudian meneruskan langkahnya menyusuri jalan raya.
 
Aku yakin, setelah dia membalikkan badannya wajahnya kembali getir secara drastis. Namun, tetap saja berhasil mencuri perhatian orang-orang yang dilewatinya, terpesona. Keadaan demikian tak menyurutkan sedikitpun pesona disetiap langkahnya. Mataku tak lepas memandangi sosoknya yang perlahan timbul tenggelam di antara barisan orang-orang. Lalu, setelah yakin dia sudah masuk ke rumah ibadah dan bayangan punggungnya benar-benar tak terlihat, barulah aku mengalihkan pandangan. Aku adalah orang beruntung karena memilikinya, atau bisa dikatakan begitu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah Seribu KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang