15 | Sepasang Mata

878 119 60
                                    

***

ZULA TERDIAM DENGAN pandangan sendu ke arah rimbun pepohonan taman sebelah rumahnya. Desiran angin malam menemani kerisauannya saat ini. Tatapannya nanar dengan bibir yang terkatup rapat. Pelan matanya terpejam, seolah ada luka yang berusaha ia pendam.

Bayangan akan pertemuan Zayyan dengan Maryam siang tadi masih terekam jelas di ingatannya. Meski ia tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka perbincangkan di dalam kafe, namun netranya seolah menangkap kesan bahwa keduanya memiliki hubungan yang dekat. Zula melihat sendiri saat Zayyan mengobrol dengan wanita itu, bahkan sesekali saling melempar senyum yang selama ini tak pernah Zayyan lakukan dihadapannya. Meski keduanya terlihat sangat menjaga pandangan, namun rasa sesak dalam dirinya itu tetap ada bukan?

Begitu ia membuka matanya yang semula terpejam, samar-samar matanya menangkap sosok bayangan Zayyan yang seolah berada tepat di hadapannya. Pemuda itu tersenyum lembut ke arahnya. Sejenak mata hitam pria itu menatap wajah Zula yang masih terpaku di tempat ia duduknya.

"Kenapa kamu datang terus, sih?" Ucap Zula kesal. "Ganggu tahu, gak!"

Pria itu tidak menjawab, sosoknya hanya tersenyum tipis.

Tiba-tiba saja sayup-sayup terdengar sebuah suara membuyarkan lamunan Zula. Gadis itu seketika tersadar dari lamunan konyolnya.

"Astaghfirullah, mikir apa sih?!"

Zula menggeleng kuat. Berusaha menghilangkan pria itu dari pikirannya.

Lu kenapa sih, Zul?

Belum sempat Zula merutuki dirinya sendiri, tiba-tiba saja pintu kamarnya terdengar diketuk dari luar. Seolah tahu siapa yang datang, Zula bergegas membenarkan posisi duduknya.

"Masuk aja, Bi!"

Bi Ijah datang dengan wajah tuanya yang tampak sedikit cemas, "Non, tadi sore nyonya telepon. Katanya nyonya dua hari lagi baru pulang. Bibi lupa ngasih tahu Non Zula tadi."

Suara Bi Ijah terdengar pelan namun cukup terdengar jelas ditelinga Zula. Gadis itu menghembuskan napas. Sejujurnya ia bosan mendengar laporan dari mamanya. Terlebih jika sang mama sudah pergi keluar negeri untuk alasan pekerjaan, rasanya ia semakin muak dengan semua itu.

Ia dan mamanya bahkan akhir-akhir ini tak punya banyak waktu untuk sekedar deep talk selayaknya ibu dengan anak. Hampir setiap malam ia lewati malam tanpa kehadiran sang mama. Bahkan saking sibuknya, sang mama kerap pulang malam dan seringnya saat ia sudah tertidur. Sementara dipagi buta Nyonya Zee sudah berangkat kembali ke kantor. Alhasil ia dan mamanya jadi tidak punya waktu berdua walau hanya sekedar sarapan pagi bersama.

Zula paham jika mamanya adalah wanita karir. Tapi rasanya begitu menyiksa saat ia ingin menceritakan sesuatu hal yang penting tetapi sosok mama yang seharusnya menjadi tempatnya bercerita justru tidak ada di sampingnya.

"Non mau dibuatkan minuman?" Tawar Bi Ijah kemudian. "Atau cokelat panas?"

Zula menggeleng pelan. Menyadari keengganan majikannya, Bi Ijah hanya mengangguk lalu berjalan pergi meninggalkan Zula.

Gadis itu menghembuskan napas berat. Matanya kembali menatap pada rimbunan pohon yang ada di taman rumahnya. Suara jangkrik seolah menjadi backsound alam yang menemani kesendiriannya. Belum lama ia tertegun, sebuah pesan masuk terdengar dari handphonenya. Zula melihat sebuah nama yang tertulis di layar handphone. Adnan.

Dia lagi.

Gadis itu pun membaca pesan yang dikirim Adnan.

Zula, boleh kita bertemu? Aku mohon. Setelah ini aku janji ga akan ganggu kamu lagi. I'm promise.

Mahabbah Cinta ZulaikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang