Four Grils and Boy

16 0 0
                                    

"Nabila!" bentak sang Ayah begitu kencang, hingga seluruh ruangan berdengung.

Gadis cantik, berambut panjang dan berkulit putih itu terkejut, hingga meneteskan air mata. Dia adalah Nabila. Seorang ibu paruh baya yang berada di sebelah Nabila, juga sama terkejutnya. Kini mereka bertiga sedang berada di ruang tengah. Terlihat sang Ayah yang begitu marah.

"Udah berungkali Ayah bilang, nggak usah ikut!" seru sang Ayah membuat Nabila sedih. "Kalau mau kerja kelompok di sini aja! Kalau nggak ada yang mau, ya udah. Bilang aja ke Temen-Temenmu itu, Ayah nggak ngijinin!"

Nabila terlihat menangis sedu, dengan pandangan ke arah bawah. Mamah yang melihatnya pun merasa kasihan. "Mas, jarak rumah Temen-Temennya Bila, sama sini itu jauh. Mereka juga kumpul di rumah, bukan Cafe, Restoran, apalagi kleb."

"Aku lebih tau, gimana keadaan di luar sana, May! Emangnya kamu mau, Anakmu pulang-pulang jadi liar, kasar, nakal dan nggak tau aturan?" sarkas sang Ayah pada Mamah Maya.

Maya pun terdiam dan Ayah kembali melihat ke arah Nabila. "Dengerin aja kata Ayah! Kamu nggak usah ikut! Kerjain tugasmu sendiri di rumah, biar lainnya aja yang ngumpul. Kamu nggak perlu!" tambahnya.

"Iya," sahut Nabila dengan suara khas orang nangis.

Ayah pun mendekat dan berkata, "Maafin Ayah ya, ini semua demi kebaikanmu. Ayah nggak mau, kamu jadi Anak yang salah arah. Orang kalau udah salah arah, hidupnya bakalan sulit. Kamu tau itu-kan?"

Nabila menganggukkan kepala, pelan. Sang Ayah pun tersenyum dan mengecup puncak kepala Nabila. Ayah berpamitan pada Nabila dan Mamah Maya. Setelah itu, dia pergi keluar. Mamah melihat ke arah Nabila, dengan perasaan sedih.

"Bil, kam---" ucap sang Mamah terpotong.

"A-aku mau ke kamar," pamit Nabila, menahan rasa sesak di tubuhnya.

"iii-iya," sahut sang Mamah, sembari melihat kepergian Nabila.

Setitik air mata jatuh, membasahi pipi. Pada lubuk hati Mamah terasa nyeri, melihat duka sang Anak. Mamah pun menyeka air matanya dan memilih untuk pergi. Di lain sisi, Nabila tengah mengusap puncak kepalanya dengan kasar. Dia menangis tersedu-sedu dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Rintihan suara Nabila, terdengar begitu parau dan perih.

°°°°°°

Hari pun berganti. Nabila telah tiba di sekolahnya, dengan mata yang sedikit bengkak. Sekolah itu sangat ramai. Para Murid saling menyapa dan tersenyum. Berbeda dengan Nabila yang diam saja, sambil menatap ke arah bawah.

Tak lama terdengar seseorang dari belakang, memanggil namanya, "Nabilaaaa!"

Siswi berkucir satu itu pun mendekat ke arah Nabila dan merangkulnya. Dia bernama Rena, sahabat baik Nabila. Dia pun memiringkan kepala ke bawah, melihat wajah Nabila. Keningnya mengerut, melihat mata yang bengkak itu.

"Ya ampun, mata lo kenapa Bil? Kok bisa bengkak begini sih?" tanya Rena khawatir, sembari memegangi dagu Nabila. "Lo pasti habis nangis semaleman kan?"

Nabila menyingkirkan tangan Rena dari dagunya dan kembali melangkah ke depan. "Biasalah."

Rena hanya ber-ohhh saja dan menyusul Nabila. Rena tak ingin bertanya lebih dalam, karena dia sudah paham. Mereka pun berjalan berdampingan, tanpa adanya obrolan. Keduanya hanya tersenyum, menerima sapaan para Murid yang lewat. Tak lama dua orang Siswi datang, dengan tas ranselnya.

"Rena! Nabila!" panggil salah satu Siswi itu, Andin.

Andin melambaikan salah satu tangan ke depan dan teman di sebelahnya pun sama, Via. Mereka berdua berdiri di atas anak tangga, dengan senyum yang cantik. Rena membalas lambaian tangan itu, dengan ekspresi riang. Sedangkan Nabila tersenyum lembut. Mereka pergi menghampiri Andin serta Via, dan berjalan bersamaan ke arah Kelas.

My LampionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang