"Kita goncengan bertiga apa gimana?" tanya Nabila, dengan nada lemah.
Nabila kini tidak sendirian. Ada Mamah dan Ayah yang menemaninya. Terlihat mereka bertiga sedang menuruni tangga. Mamah memegangi Nabila yang masih lemas dan sang Ayah, membawakan tas.
"Pakai mobilnya Farhan," ucap sang Ayah membuat Nabila terkejut.
"Hahhh?!" Nabila menghentikan langkah kakinya dan menatap Orang tuanya tak percaya. "Ngapa pakai tuh mobil sih?! Emang kalian udah ijin sama orangnya?"
"Ini Ayah mau nyari dia," kata sang Ayah, membuat Nabila kesal.
"Arghhh, kenapa nggak naik montor aja sih! Kalau dia mikir yang enggak-enggak soal kita gimana?" keluh Nabila kesal dan juga malu.
"Ayahmu tuh yang maksa! Mamah udah bilang, persen mobil online aja, tapi ngeyel!" Ngadu sang Mamah.
Ayah hendak buka suara, namun dia sudah didahului orang lain. "Om, Tante!" panggil Farhan yang baru saja muncul di depan mereka bertiga.
"Farhan," ucap Mamah dengan senyum lembut. Farhan pun menyalami satu per satu punggung tangan Mamah dan Ayah Nabila.
"Kebetulan banget bisa ketemu kamu di sini," kata sang Ayah, setelah Farhan menyalaminya.
Farhan terlihat bingung dan bertanya-tanya. "Om cari saya?"
Ayah menganggukkan kepala. "Om ijin pinjem mobilnya sebentar ya, buat antar Bila ke rumah. Maaf, Om langsung bawa mobilnya, tanpa sepengetahuan kamu dulu. Sebenarnya, Om itu mau hubungi, tapi nggak ada nomor kamu."
"Ohhh, nggak papa Om. Saya malah seneng, kalau mobilnya bisa berguna," jawab Farhan yang sama sekali tidak keberatan.
Nabila masih memalingkan wajah, karena malu. Sang Mamah pun berterima kasih, "Makasih banyak ya. Lain waktu, kalau mau ambil mobil, di hari libur atau yang waktu luangnya banyak aja. Biar bisa main ke rumah dulu."
Farhan tersenyum lebar dan mengangguk pelan. "Iya Tante, saya juga makasih. Waktu kecelakaan dulu, Om udah mau bantu saya."
"Sama-sama," sahut Ayah.
Tak lama beberapa anak lelaki datang. "Hannn! Lo ditunggu Pak Wahyu, di lapangan basket!" ucap pemuda itu memberitau.
Ekspresi wajah Farhan berubah. "Iya, thanks," ucapnya singkat dan para pemuda itu pergi. Farhan pun berpamitan, "Om, Tante! Saya pamit dulu ya."
"Iya," sahut Ayah, sembari menerima salam dari Farhan.
Farhan menyalami Ayah dan Mamah Nabila, dengan ramah. Dia juga berpamitan pada Nabila dan pergi meninggalkan tangga itu. Mereka bertiga pun menuruni tangga dan berjalan menuju parkiran.
"Duhhh, baik banget ya, anaknya," ucap Mamah yang kagum pada Farhan.
"Anak yang kedidik pasti beda. Meskipun lahir dari keluarga yang kaya, dia nggak nunjukin sedikit pun karakter angkuh, sombong atau egois," kata sang Ayah.
Terlihat di lain sisi, Nabila tengah berpikir dan membantin, "Kayaknya Farhan nggak seneng, dipanggil Pak Wahyu. Ada apa ya?"
^=^
Nabila duduk di meja belajar, dengan jendela terbuka. Sebuah alunan irama mengalir dari earphone yang menggantung di kedua lubang telinganya. Terlihat tangan lentik itu bergerak, membuat tulisan di buku yang imut.
Diary ;
Lagi-lagi hal ini terjadi. Mengapa tahun ini? Kenapa enggak dua tahun depan aja? Kenapa haru sekarang?!Nabila berhenti menulis dan menangis. Tangannya meremas bolpen itu, dengan kuat. Isakan tangis dan punggung yang bergetar, menggambarkan rasa sakit yang dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lampion
Teen FictionLangit yang gelap, akan menjadi terang, jika ribuan lampion bertebangan. Namun sebaliknya, jika hujan tiba turun. Lampion-lampion itu akan redup dan berjatuhan. Layaknya kehidupan di dunia. Akan kah,