2nd Wave

661 135 7
                                    

Jeongwoo tengah menangis di dermaga. Air matanya tidak keluar lagi, tapi isakan masih terdengar dari bibirnya. Langit sudah berubah jingga dan tim SARS belum juga menemukan Haruto yang hilang di laut lepas. Tim SARS harus menghentikan pencarian mereka karena hari semakin sore.

"Ruto...", gumam Jeongwoo di tengah rangkulan kedua orang tuanya.

Ia merasa sangat bersalah. Akibat perbuatannya yang sembrono mengakibatkan temannya hilang. Pikirannya kalut. Ia bahkan begitu takut menghadapi kedua orang tua Haruto tadi. Syukurlah ia tidak dibentak sama sekali.

Meski begitu, hal tersebut malah membuatnya semakin merasa bersalah.

"Haru!", teriakan orang tua Haruto tiba-tiba, membuat Jeongwoo mengangkat wajahnya untuk melihat ke arah di mana orang tua Haruto melayangkan pandang. Ia menggigit bibir bawahnya dan kini matanya kembali berair.

"HARUTO!", teriaknya begitu kencang dan segera berlari menuju temannya itu. Ia bahkan mendahului orang tua Haruto untuk memeluk temannya itu.

"H-Haruto... huahhh maaf.. m-maafkan aku huaaa...", tangis Jeongwoo tepat di telinga Haruto membuat tangisan Haruto juga turut pecah.

"Hiks Park Jeongwoo..."

Dua sahabat itu kini saling berpelukan dan mengadu tangis. Keduanya tak mempedulikan sekitar mereka. Tentu ada raut lega karena Haruto kembali. Namun mereka juga heran dan bingung. Bagaimana bisa seorang anak yang hilang di tengah lautan tiba-tiba kembali ke dermaga tanpa luka dan lecet sekali pun? Tidak bukan masalah luka dan lecet, tapi bagaimana bisa ia kembali? Tidak mungkin seorang anak berusia 12 tahun berenang seorang diri dari lautan luas hingga ke dermaga, mustahil. Lantas bagaimana Haruto bisa selamat?

~

"Jadi, saat kau tenggelam, kau diselamatkan oleh seorang nelayan? Lalu kau dibawa ke rumahnya untuk mengeringkan pakaianmu dan diberi makan? Itu sebabnya kau baru kembali ke dermaga saat sore hari?", tanya seorang polisi, mengulang kembali penjelasan Haruto padanya.

"Iya, seperti itu.", jawab Haruto pada pihak kepolisian.

"Kenapa kau tidak menelpon jika kau segera diselamatkan oleh seorang nelayan?", Haruto kembali diberi pertanyaan.

"Ponselku mati karena air, bagaimana bisa aku menelpon?", jawab anak berusia 12 tahun itu, terdengar polos.

"Kau tidak meminjam telepon?"

"Aku tidak mengingat nomor orangtuaku. Pinjam pun aku tetap tidak bisa menelpon.", jawab Haruto lagi.

"Kalau begitu siapa nama nelayan yang menolongmu itu?"

"Ah itu... ia tidak mengatakannya.", lagi jelas Haruto pada sang polisi.

Sang polisi sedikit mengernyit. Semua yang dikatakan Haruto bersih dan jelas. Namun entah kenapa sedikit seperti cerita fiksi pendek yang sering ada di majalah atau koran.

"Maaf, tapi kurasa sudah cukup. Anak kami sudah menjelaskan semuanya pada anda. Kami sudah sangat senang karena ia kembali dengan selamat. Boleh biarkan kami pulang?", ayah Haruto akhirnya menyeletuk.

"Ah iya abeonim, baiklah. Maaf karena kami menahan kalian terlalu lama.", ucap sang polisi.

"Lain kali jangan bermain-main dekat dek kapal, itu berbahaya.", ucap pria berseragam itu lagi pada Haruto.

"Baik, aku mengerti pak.", jawab Haruto dengan anggukan kecil.

Haruto akhirnya bisa pulang bersama kedua orang tuanya.

~

Haruto kini berada di kamarnya. Lampu tidur sudah menyala dan ia sudah bergelung hangat di bawah selimutnya.

Story of Wave [Haruto x Junkyu] Harukyu AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang