Tiga hari, dalam waktu itu Naya melanggar janjinya pada Barera. Hingga membuatnya uring-uringan setiap bari. Sedangkan para bawahannya tentu kualahan serta kasian.
"Aku tidak mau tahu! Kalian semua harus mencarinya!!" Tekan Barera dengan napas tak beraturan.
"Tu-tuan, saya sudah menemukannya!" pekiknya baru saja berlari tergopoh-gopoh.
Barera tidak merespon, hanya tubuhnya menatap dengan menunggu perkataan selanjutnya. "Dia ada di puncak bersama keluarganya dan besok baru dia pulang, Tua."
Barera mengangguk lalu menoleh tidak sempurna saat Bio mendekat. "Tuan, jika bertemu besok tidak bisa menyentuhnya langsung. Tuan ingat perkataan wanita bercadar kemarin?"
"Jadi aku harus bagaimana agar bisa menyentuhnya sesuka hati?" Tanya Barera polos. "Lamar dia. Ayo kita mulai besok." Barera mengangguk pelan.
"Siapkan barang-barang yang biasanya dipakai untuk melamar dan malam ini harus sudah ada!" Tegasnya membuat semua bawahan mengangguk lalu mengundurkan diri.
"Bio, aku lelah. Aku akan istirahat untuk besok." Bio menunduk, "Silahkan, Tuan."
Sedangkan disisi lain, Naya dan keluarga tengah berbahagia setelah mendengar kabar baik dari kakaknya, Diana. "Cepet banget ya gol nya. Padahal nikah belum genap satu tahun," goda Naya.
Diana tersipu malu mendengarnya. "Padahal dulu bilang mau nikmatin waktu berdua lebih banyak, eh Allah berkata lain," imbuhnya cekikian sendiri.
"Sudah, Nay. Jangan menggoda Mbak mu terus. Nanti ketularan nikah loh," goda Rena mengingatkan Naya pada seseorang.
"Umi!? Ak-aku baru ingat sama dia! Aduh aku melanggar janji ku, Umi." Keluhnya merosotkan bahunya. "Astagfirulloh, Umi juga lupa mengingatkan kamu. Kita terlalu senang berkunjung sampai melupakan satu masalah,"
Diana hanya celingak-celinguk menatap anak dan ibu sedang membahas yang tidak diketahui sambil mengelus perut sedikit buncitnya. "Kalian bahas apa? Masalah?"
"Be--" Naya menyentuh lengan Rena lalu menggeleng pelan. "Ehm..., begini mbak. Aku ada janji sama teman aku buat nemuin dia tiga hari yang lalu. Tapi aku lupa,"
Diana sedikit mengerutkan keningnya. "Bener? Aku kira masalah besar,"
"Ini memang besar Mbakyu. Masalah masa depan," rengek Naya dalam kalbu namun tersenyum diluar.
"Nggak papa, Nay. Besok aja ditemuin," Naya mengangguk pelan. "Semoga dia nggak nekat. Umi, ingat saat dia menahanku saat mau pulang?" Rena mengangguk.
"Calon mu, Nay." Anaknya cemberut, bagaimana Uminya bisa bercanda dengan masalah ini. "Calon? Kamu sudah ada, Nay? Kok nggak bilang Mbak?"
"Bukan Mbak. Aku belum ada, lagian aku nggak mau nikah muda." Tekannya melenggang pergi takut digoda Umi dan ditanyain Diana.
Diana mengerutkan keningnya kecil melihat Rena cekikian sendiri. Jarang banget, kalbu Diana. "Umi?"
"Iya, Sayang? Mau minta apa?" Tanya Rena reflek berhenti dan mengubah ekpresinya jadi serius.
Diana menggeleng pelan. "Enggak, Umi." Rena tersenyum lalu mengelus rambut anaknya yang terbungkus khimar.
<○><○>
"Huh! Capek banget," keluhnya membaringkan tubuhnya yang terasa sangat nyaman di atas ranjang. Krudung hitam blusuan masih dipakai sebab baru pulang dari kediaman rumah Diana.
"Nanti setelah dhuzur kesana deh," monolognya. Ia akan pergi ke rumah sakit bersama Raya, jika bersama Rena takut menganggu. Apalagi mereka habis lumayan jauh perjalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FANAYA✔
SpiritualPEMBERITAHUAN UMUM || 1-30 BERKISAH TENTANG FANAYA DAN BARERA || 31-50 BERKISAH CINTA ICA|| Saya gabung menjadi satu bukan maksud apa-apa. Walaupun kisah Ica masuk dalam extrapartnya. Mungkin ini adalah extrapart terpanjang dari cerita lain. YANG BE...