19

131 10 1
                                    

Nahkan benar jika sifat Barera itu memang persis seperti Bunglon. Terus berubah-rubah sampai Naya bingung sendiri. Sekarang Barera sedang duduk di halaman rumah untuk menjemur Devan.

Naya sendiri masih sibuk memasak di bantu oleh Putri. Awalnya tidak diperbolehkan oleh Barera, tetapi karena ini perintah langsung dari nyonya besar jadi tuan muda harus mengalah.

"Usia pernikahan kalian udah berapa tahun? Kalau bulan seperti nggak mungkin deh. Kalian aja udah punya anak," kata Putri membuat Naya terdiam.

"Ehm hampir dua tahun, Nek." bohong Naya. Usia pernikahan mereka masih satu tahun belum genap.

"Wah sudah lama tapi nenek mu baru tahu. Berarti setelah lulus pondok kamu langsung di lamar?" Naya hanya mengangguk saja. Jujur berbohong itu sulit.

"Bahagia nggak hidup barang anak Nenek?" goda Putri menyengol pelan lengan Naya.

"Kalau nggak bahagia mana bisa dapat anak, Nek. Bukti cinta kita ya Devan," kok sakit ya mengakatakan hal itu. Bukti cinta? Hahaha padahal Devan bukan anak kandung nya bagaimana bisa di sebut bukti cinta.

"Astagfirulloh, nggak boleh. Dia anak ku ya anak ku," guman Naya menggelengkan kepala tak habis pikir.

"Nek, kok aku tiba-tiba kangen sama anak ku ya. Boleh nggak ijin ke depan buat ketemu sebentar?" Putri tertawa mendengarnya. Ada-ada saja kelakuan menantunya ini, masa belum satu jam berpisah sudah kangen.

"Pergilah," titah Putri.

Naya tersenyum manis lalu berlari menjauh meninggalkan Putri yang masih tertawa karena ulah Naya. Kemudian, melanjutkan memasaknya.

"Udah selesai masaknya?" Tanya Barera menatap Naya yang baru saja datang dan berdiri di sampingnya sekarang.

"Belum,"

"Trus kenapa kesini? Kamu ninggalin mama sendiri di sana?"

"Memangnya kenapa? Aku sudah ijin kesini sebentar jadi tidak masalah. Lagian aku ingin bertemu dengan putra tampan ku," kata Naya mengambil Devan yang masih tidur.

"Ehm, ehm, hm.... anak Bunda bikin kangen tahu hm...." Naya terus mencium Devan dengan bibir masuk ke dalam.

"Gemes banget Bunda sama kamu, Nak." Naya bermain dengan mengajak bicara putranya sedangkan Barera hanya mendengus. Ada rasa cemburu di hatinya.

"Kalau sama aku, kangen nggak?" Tanya Barera membuat Naya menoleh lalu menatap paha suaminya.

"Itu di rapetkan dulu," reflek kaki Barera menutup hingga tiba-tiba Naya duduk di pangkuan dengan pandangan fokus kepada anaknya. Sedangkan Barera sudah kaku seperti kursi hidup.

"Ke-kenapa duduk di sini?"

"Nggak ada kursi di samping kamu, Mas. Oh iya, aku ke sini cuma kangen anak ku bukan kamu. Mungkin lain kali kalau sempat aku kangen kamu ya, tapi nanti," jelas Naya membuat Barera mendengus.

"Anak kamu ganteng, Mas. Bibit unggul banget. Aku jadi penasaran seperti apa wajah ibunya jika anaknya setampan ini," kata Naya menatap Devan dengan dalam.

"Ngapain sih masih ngungkit wanita jalang itu? Ibu dari Devan itu cuma kamu dan cuma kamu yang berhak. Aku sudah mendapatkan hak sepenuhnya dari negara. Jika suatu saat dia kembali ingin mengambilnya aku tidak akan pernah melepaskannya," tegas Barera.

"Kalau kamu kapan mau punya anak dari aku?"

"Eh!?"

Naya tertawa melihat wajah lucu Barera. "Bercanda elah, jangan kaku gitu mukanya. Devan masih kecil tunggu dia agak besar gitu baru em-em," ini Naya yang hoki menggoda Barera atau gimana sampai pipinya bersemu merah.

FANAYA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang