Naya menarik nafas pelan lalu mengeluarkan dengan perlahan. Udara pagi di puncak membuat mood paginya begitu baik. Kemarin malam, Barera menganjak keluarga kecilnya untuk berlibur di sebuah Villa di puncak.
Rambut panjang tebal bergelombang itu di biarkan terurai. Hingga menari-nari sesuai alunan angin di sekitar. Barera sedang pergi jadi Naya bisa melepaskan krudungnya dan mengunci kamar.
Devan masih tidur jadi bisa di tinggal.
"Sejuk banget udaranya. Kayaknya aku harus banyakin nanam pohon deh di rumah. Biar suasana sama kayak di rumah abi," gumannya kecil.
Setelah puas, Naya menuju kamar mandi. Memanjakan tubuh dengan fasilitas lengkap dan merah. Tak ada yang rugi punya suami kaya raya. Butiran kecil bergesekan dengan kulit langsung Naya hingga mampu mengangkat sel kulit mati.
Pintu di ketok dari luar dan panggilan pelan di dengar oleh Naya. Segera menarik krudung lalu membukakan pintu untuk suaminya.
Mata Barera langsung tertutup saat aroma tubuh Naya begitu sopan masuk ke dalam hidungnya. Tubuhnya reflek memeluk Naya dari belakang, menghirup rakus hingga Naya berdecak.
"Biasa aja kali. Nggak usah rakus gitu, kayak aku baru pertama kali aja baunya kayak gini," kata Naya bersandar sesekali matanya melirik Devan, takut terbangun.
"Bukan masalah itu, tapi kamu jarang memanjakan hidung aku sama aroma kamu sejak ngurus Devan. Biarlah begini dulu, aku sangat merindukan khas tubuh mu," pinta Barera pelan.
Barera melepaskan pelukannya lalu menggiring Naya untuk menikmati waktu bersama di balkon. Duduk di antara paha Barera dengan pelukan hangat.
"Kamu tahu, menyenangkan hati suami itu berujung pahala. Jadi sering-seringlah seperti ini," ungkap Barera tepat di telinganya.
"Tergantung, Mas. Kalau Devan bisa di tinggal lama nggak papa. Tapi aku ingetkan, anak mu sama aku tuh kayak prangko, lengket terus." sahut Naya tidak pasti.
"Ish, kan ada aku. Nanti aku yang jaga saat kamu mandi atau suruh pelayan buat jaga sebentar. Nyenengin suami kok nggak mau, nanti suami kecantol wanita lain marah-marah," cerocos Barera.
"Bukan cuma marah, aku bisa aja angkat kaki dari rumah. Jadi kalau mau main hati-hati. Dan ngomong harus di jaga, kamu ingat perkataan adalah doa jangan seenaknya ngomong kayak gitu. Aku nggak suka,"
"Iya iya deh, maaf. Aku salah." aku Barera kembali fokus pada Naya. Memeluk dan menikmati waktu yang jarang sebanyak ini.
"Jangan lama-lama. Devan pasti bentar lagi bangun, aku belum bikin susu buat dia. Kita juga perlu sarapan," ucap Naya mengingatkan.
"Hm."
Saat matahari ke arah barat dan hampir tenggelam. Keluarga kecil Barera menikmati dengan berjalan santai. Saling mengenggam layaknya pasangan romantis lainnya.
Devan di gendong oleh Barera. Jadi Naya bisa bergerak lebih leluasa. Hanya saja kadang Barera harus extra sabar karena tingkah Naya seperti bocah.
Seperti kali ini, Naya melepaskan genggaman tangan itu untuk berlari mendekati tukang pentol dekat pohon besar. Barera mendelik sebentar lalu menghela nafas sabar.
"Mas, pentol satu!" pesan Naya dengan ceria.
"Nyakin, Dek cuma satu?" tanya penjual masih muda dan keliatan umurnya masih 20-an. Naya mengangguk semangat.
Penjual pentol itu mengambil satu tusuk kayu untuk menusuk satu biji pentol. Kemudin di sodorkan kepada Naya, "kok satu?"
"Tadi kamu pesen berapa?" Tanya penjual. "Satu," sahut Naya. "Nah ini berapa? Satu kan? Jadi nggak salah dong," penjual itu tertawa pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FANAYA✔
SpiritualPEMBERITAHUAN UMUM || 1-30 BERKISAH TENTANG FANAYA DAN BARERA || 31-50 BERKISAH CINTA ICA|| Saya gabung menjadi satu bukan maksud apa-apa. Walaupun kisah Ica masuk dalam extrapartnya. Mungkin ini adalah extrapart terpanjang dari cerita lain. YANG BE...