23

101 6 0
                                    

Kata orang hujan pertama bisa mengabulkan keinginan. Tetapi ada pula yang berpendapat jika hujan pertama dan manusia kena airnya akan terserang demam. Jadi mana yang benar?

Sore ini villa di guyur hujan tidak begitu deras tapi lumayan lama, ini hujan pertama di akhir bulan.  Suasana di sekitar cukup sepi bahkan terlihat sedikit menyeramkan pada bagian kebun teh, meskipun tempatnya lumayan jauh dari tempat Naya sekarang.

Entah ada dentungan apa di telinga Naya sampai menari dengan wajah menahan salting. Sekitar sepi yang di manfaatkan Naya, yaitu tidak akan ada yang melihat atau bahkan lekuk tubuhnya karena basah air hujan.

Tadi sepuluh menit yang lalu, Naya mendengar hujan ia langsung keluar villa.
Naya membiarkan setiap tetesnya menyentuh wajah ayu nya. Merasakan sensasi cinta setiap bayangan cinta bersama suaminya.

Setelahnya, Naya merasa ada lantunan suara yang begitu merdu hingga tubuhnya bergerak, berlenggak-lenggok mengikuti setiap irama itu. Namun kegiatannya terhenti saat suaminya menyeru dengan keras padahal tadi seingat Naya, suaminya sedang tidur bersama putranya.

"NAYA MASUK!!" pekiknya berkacak pinggang di teras villa dengan mata tajam seolah tidak mau di bantah.

"Nggak mau, Mas. Udah nanggung banget, lagian aku mau main air hujan. Sudah sama tahu aku tidak main," tolak Naya ikut berteriak.

"Ini hujan permata, kamu bisa sakit! Di bilangin jangan ngeyel! Ayo masuk!!" Barera terus berusaha mengajak Naya agar kembali ke villa.

Ternyata Barera tahu tentang hujan pertama membawa sakit.

"Akh! Mas nggak mau! Nggak mau!! Sekali ini aja biarin aku bermain. Lima menit aja plis!" pinta Naya dengan memohon.

Barera menghela nafas kasar lalu masuk ke dalam, melihat itu membuat Naya berjingkrak kesenangan. Ia juga melanjutkan kegiatan menarinya yang sempat tertunda.

Hujan yang tadi deras kini berganti dengan gerimis. Bagi Naya sama saja, mau gerimis atau hujan. Sesaat Naya berpikir tentang beberapa menit yang lalu, apakah suaminya tidak mempedulikan istri keras kepalanya ini? Tapi lamunannya bubar saat mendengar seruan kembali dari suaminya.

Bedanya sekarang membawa handuk.

"Sudah lima menit lebih, ayo masuk. Aku sudah menyiapkan air hangat untuk kamu mandi," kata Barera tak sekeras tadi.

Naya dengan reflek mengangguk dan melangkah mendekatinya. Tubuhnya juga sudah lelah karena kebanyakan gerak. "Terima kasih,"

"Mas boleh nggak nanti setelah aku selesai mandi, di buatin makanan? Aku laper," cengirnya lebar.

"Hm, sekarang pergilah mandi," titahnya di patuhi oleh Naya.

Naya pergi ke kamar dan melakukan kegiatan mandi dengan cepat. Sisa waktu di gunakan untuk mengeringkan rambut sebelum Barera datang. Pintu juga sudah di kunci jadi aman.

"Hah, kalau gini kan enak." gumannya. Naya menguncir rambut panjang dan lebat itu lalu di tutup dengan ciput selanjutnya krudung blusuan.

Bertepatan dengan pintu di ketuk dari luar, Naya segera membukanya. Bisa Naya lihat, suaminya datang dengan wajah datar. Tidak ada senyum setipis pun.

"Habis ngeringin rambut mangkanya di kunci?" hanya cengiran yang Naya berikan.

"Kamu masak apa, Mas?" tanya Naya melirik masakan suaminya hingga matanya mendelik pelan.

Astagfirulloh! Bubur ayam!

"E-ehm, Mas aku mau makan mie instan. Nggak mau bubur," tolak Naya mundur namun Barera malah maju dan meletakkan nampan di nakas.

"Nggak usah aneh-aneh. Bulan ini kamu sudah makan, jadi nggak ada jatah buat makan mie lagi. Cepat makan dan habiskan," titah Barera naik ke ranjang untuk menjaga putranya.

Naya menatap bubur tanpa toping itu dengan nalar. Putih bersih dan bawang goreng sedikit. Mengaduknya saja sudah membuat dirinya mual.

Naya tersenyum getir saat Barera ternyata mengawasinya. Dengan pelan, Naya menyendokkan sedikit kedalam mulutnya.

Huwek!

Tidak muntah tapi wajah Naya langsung berubah dengan mata berkaca-kaca.

"Aku bukan maksud hina makanan. Tapi aku nggak suka bubur ayam. Rasanya aneh, bikin muntah. Aku nggak mau," ungkapnya sebelum menangis.

Melihat hal itu, Barera segera mendekat dan memeluknya. Mengelus bahu Naya agar tenang. "Kenapa nggak bilang, hm?"

"Takut di katain aneh. Masa nggak suka bubur ayam, padahl enak loh," jawab Naya terbata-bata.

"Padahal bubur ayam nggak enak menurut aku. Bikin mual sama muntah," lanjutnya.

"Yaudah mau bikinin apa sekarang? Nggak mungkin kamu nggak makan. Tadi katanya lapar," tanya Barera agar tak salah masakan lagi.

"Soup! Aku paling suka sup! Kalau aku sakit aku bakal cepet sembuh!" serunya dengan senang. Bahkan mengangkat wajahnya hingga menunjukkan wajah masih ada sisa air matanya.

Barera menghapuskannya dengan pelan lalu mengecup cepat bibir Naya hingga si pemilik terkejut. "Mas!?" pekik Naya memukul perut Barera.

"Kamu udah buat susu belum?" tanya Naya menatap susu bubuk atas meja.

"Udah, tadi sebelum ke depan Devan bangun trus aku kasih susu. Eh setelahnya dia tidur lagi," sahut Barera sibuk memotong wortel.

"Kasihan aku, Mas sama dia. Masih kecil banget harus minum bubuk, andaikan asi aku keluar udah tak kasihin,"  Naya menghela nafas pelan.

"Kamu mau nggak gimana caranya biar asi kamu keluar?" Barera berbalik hingga menatap Naya.

"Gimana? Bukannya kalau asi mau keluar itu waktu habis lahiran ya?" Naya mengingat informasi terputar itu.

"Yaps betul! Dan cari ini juga bisa bikin Devan mahrom untuk kamu. Selagi itu masih di waktu bayu nyusu,"

"Kamu harus ber-olahraga dengan ku. Jika jadi, tumbuhlah anak dalam kandungan kamu. Setelah melahirkan, kamu pasti mengeluarkan asi. Nah, bagi tiga deh. Simpel kan?" lanjutnya dengan menaik turunkan alisnya.

"Kok tiga? Memang kamu tahu anaknya nanti tiga? Aku ngandung anak kembar gitu?" tanya Naya.

"Satu untuk Devan, satu untuk anak selanjutnya dan satu lagi untuk aku," jawabnya dengan cekikian.

"Mas!!!" kesal Naya.

"Lagian ngomong mudah tapi ngejalanin susah. Usia Devan udah enam bulan kalau nambah anak apa nggak kerepotan?"

"Nggak ada yang namanya kerepotan dalam mengurus anak, Sayang. Jika kita nyakin Allah ngasih anak, bearti kita harus nyakin dengan tanggung jawab ini. Mengerti?" Naya mengangguk pelan.

"Jadi kapan kita olahraga malam?" goda Barera menarik dagu Naya.

"Mas!? Kita udah bicarain tentang hal ini. Sabar, hanya menghitung bulan mundur. Aku mohon," pinta Naya menubrukkan diri di dada Barera.

"Maaf." cicit Barera mengelus kepala Naya lalu melepakannya, ia harus mematikan kompor.

"Kasih es batu mas biar cepet hangat, aku sudah nggak sabar makan sup!" pekik Naya tersenyum senang.

"Di rendem aja jangan di masukin es batu. Sebentar," Barera menutup lubang wastafel lalu mengisinya sampai seperempat dari wadah sup.

"Yah, bakal lama dong," keluhnya.

"Sabar, orang sabar suaminya ganteng." Naya mendengus mendengarnya.

Mereka menikmati waktu berdua kembali. Tidak akan tahu seperti apa hari esok. Apakah berjalan sesuai exspetasi atau malah dijatuhnya dengan realitanya.

Menerima kritik dan saran

FANAYA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang