46

50 3 0
                                    

Gala menatap adiknya yang sudah perpakaian rapi. Tumben. Biasanya hanya celana jeans dan jangket. "Mau kemana?"

"Minta restu calon mertua," jawab Gara tidak menatap Gala. Kernyitan di dahi saang kakak dengan langkah mendekat.

"Jangan ngawur, jawab yang jujur." omel Gala membuat Gara mendongak. "Dibilang mau minta restu kok nggak percaya. Gimana penampilan gue?" tanya Gara memutar tubuhnya.

"Ganteng kayak biasanya." puji Gala. Adiknya memang gangeng, kan laki-laki.

Gara tersenyum smirk, "gue mau cabut. Pulang mau di bawain apa?" Gala tidak menjawab. Memegang bahu adik dengan tatapan serius.

"Siapa yang ingin kamu pinang?" tanya Gala.

"Ica, Marisca Aninda Majapatih. Dialah yang ingin gue pinang," jawab Gara. Dalam sedetik bola Gala membesar sebelum kembali dengan senyum tipis.

"Tidak perlu kesana, percuma. Kamu akan menyesal dan kecewa jika kesana," larang Gala. "Loh kenapa? Ica sendiri yang bilang kalau gue mau serius, datang ke rumah dan minta ke ayah nya," jelas Gara mengulang ucapan Ica tadi di sekolah.

"Saya denger, dia sudah di pinang duluan. Tapi Ica tidak tahu kalau dirinya sudah mempunya ikatan itu. Karena calon suami dan orang tuanya tidak ingin mengurangi kebebasannya ataupun masa remaja," ungkap Gala mampu menghantam jantung Gara hingga terduduk lemas.

"Ja-jangan bercanda lo. Trus dari mana lo tahu?" Gala tersenyum tipis. "Kan sudah saya bilang, saya denger dari seseorang dan seseorang itu adalah pak Barera yang meminta ijin agar status baru anaknya di sembunyikan. Awalnya saya terkejut tapi saya hanya bisa menyetujui saja," jelas Gala.

Benar-benar membuat Gara lemas seketika. "Siapa, siapa dia. Siapa yang berani mengambil cinta pertama gue,"

"Saya, kakak mu sendiri. Saya sudah janji tidak boleh membocorkan identitas si pria, maaf." Gala mengelus bahu Gara. Berusaha menguatkan sang adik agar iklas menerima kenyataan.

"Saya harap kamu tidak membenci, pria yang menjadi suaminya nanti. Ini sudah takdir dan kamu tidak bisa menentangnya," tutur Gala.

"Gue emang nggak bisa nentang takdir, tapi gue bisa membencinya. Bahkan gue juga bisa menikung mereka," guman Gara.

"Gara! Jangan ganggu mereka! Atau kamu akan menyesal!" Gara mendongak. "Kenapa lo marah seakan-akan lo nggak terima ditikung adik sendiri?"

"Bu-bukan gitu maksud saya. Kamu adalah tanggung jawab saya setelah orang tua kita tiada, jadi jika ada masalah tentu saja otomatis akan menyeret saya. Dan perlu kamu ingat, kita keluarga terpandang jika ada masalah pasti akan diketahui publik dan bisa saja mencemari nama baik keluarga. Kamu mau itu terjadi?"

Gara menggeleng pelan. "Jadilah anak yang baik. Jika dia jodoh mu akan tetap menjadi jodohmu, jodoh tidak akan pernah tertukar. Percaya sama saya."

"Lebih baik juga kamu fokus dengan sekolah kamu yang tinggal beberapa bulan lagi. Jangan sia-siakan masa depan mu hanya karena cinta, karena cinta bisa di kejar kapapun tapi tidak dengan masa depan yang sudah tata di awal," lanjutnya berusaha menyemangati adik satu-satunya.

Gara pergi tanpa memberi respon untuk Gala. Gala tidak mengerjarnya, sang adik butuk waktu untuk menerima kenyataan ini. Kenyataan dimana kedua kakak beradik itu mencintai satu wanita.

Sayangnya Gara terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Ica harus dilupakan secara paksa. Andaikan Gara tidak di tolong, andaikan Gara tidak suka memandang Ica diam-diam, andaikan Gara tidak suka banyak bicaranya Ica dan andaikan dirinya tidak menyukai Ica di awal pertemuan mereka. Pasti semua ini tidak akan terjadi.

___________

"Sayang kamu mau nikah di umur berapa?" tanya Naya iseng. Kepala putrinya yang berada di pangkuan di elus dengan lembut.

"Nggak tahu. Mungkin nunggu kakak nikah dulu baru aku mikir pernikahan aku sendiri," sahut Ica memainkan ujung krudungnya.

"Nggak ada niatan ngelangkahin? Nggak mau nikah muda kayak Bunda?" tanya Naya mengiming-ngimingkan.

"Bunda mah nikah karena di paksa, bukan murni pengen sama ayah," sahut Ica melirik Barera yang menatapnya tajam.

"Canda, Ayah." lanjut Ica terkekeh.

"Lagian kenapa Bunda ngomongin hal itu. Emang ada yang minta aku?" tanya Ica di angguki oleh Naya hingga membuatnya reflek bangun.

"Serius, Bun!? Omagat, trus-terus?" desak Ica.

"Mangkanya Bunda tanya sama kamu, mau nggak nikah muda. Kalau mau nanti di urus setelah kamu lulus tapi nggak langsung nikah. Bunda nggak mau kamu menikah di umur belasan," jelas Naya.

"Bunda, namanya nikah muda ya umur belasan. Kalau enggak ya, udah mateng umur nikahnya," keluh Ica.

"Bunda cuma nggak mau menghilangkan kebebasan di masa remaja kamu, Nak. Jadi mau ngak nikah?" tanya ulang Naya.

"Emang siapa yang minta aku? Nggak mungkin dia kan?" Ica sedikit ketar-ketir jika dalam benaknya mengarah pada temen satu kelas. Pasalnya Ica ingat beberapa bulan yang lalu Gara meminta pacaran versi halal.

"Kenapa nggak mungkin. Tapi yang terpenting, dia dekat dengan kamu. Kalian sering cekcok tidak jelas saat bersama. Lucu. Kamu pasti akan terkejut ketika tahu siapa dia," Naya mengelus kepala Ica.

"Bunda sampai nggak sadar, putri Bunda yang paling manja ini sudah dewasa. Maafin Bunda ya kalau kadang Bunda lebih sering belain kakak kamu," ungkap Naya.

"Ya ampun, Bunda. Aku nggak pernah tersinggung kok kalau Bunda lebih bela kakak, kan aku lebih sering di bela ayah. Ya kan Ayah?" tanya Ica meminta persetujuan.
"Iya, putri Ayah."

Naya hanya menggelengkan kepalanya. Melihat kekompakan mereka membuat hatinya senang dan tenang. "Kakak mu dimana?" tanya Naya melihat sekeliling tidak menemukan putranya.

"Tidur, capek habis pulang kuliah." Naya mengangguk  kecil. "Kamu mau kuliah nggak? Jangan kayak Bunda cuma lulusan SMA, mau ngambil D1 nggak jadi sampai sekaranga karena sudah ada kakak mu. Nggak mungkin Bunda sibuk sekolah sedangkan anak di rumah," tutur Naya.

"Apalagi Ayah mu dulu menjanjikan toko kue. Nyatanya sekarang malah di beli pemilik Mixue karena jadi kios kosong," lanjutnya melirik Barera yang menatapnya tanpa dosa. Nyengir lagi.

"Aku kayaknya mau kuliah tapi bingung mau ngambil jurusan apa," Ica mengetuk jari telunjuk di dagunya.

"Sastra aja, Nak. Atau akuntasi," saran Barera. "Ih yang bener aja, akuntasi. Yang ada kepala ku botak karena nggak kuat mikiran angka. Walaupun di sogok milyaran buat masuk jurusan itung-itungan aku nggak bakal mau. Eman utek,"

"Semua tergantung kamu. Kami tidak memaksa. Mau kuliah atau tidak itukan ada pada diri kamu sendiri. Kamu yang menjalani dan ayah yang membiayai," sahut Naya.

"Iyalah, Bunda mana ada uang." ejek Ica tertawa pelan. "Bunda punya uang, bahkan lebih dari ayah mu. Kan seluruh harta ayah mu milik Bunda. Iya kan ayahnya Ica?"  Naya menarik ulurkan alisnya.

"Iya. Tubuh ini juga milik mu." jawab Barera membuat Naya tersipu malu dan Ica menggelengkan kepalanya tak habia pikir.

"Jadi obat nyamuk terus perasan." dengusnya pergi meninggalkan pasutri itu.

Next>

NO REVISI

TINGGAL 4 LAGI SELESAI. MAAF NANTI KALAU ENDINGNYA NGGAK JELAS

FANAYA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang