Yuhhhh follow akun karyakarasa aku, link ada di bio.
Biasanya cerita update lebih dulu disana.
Selamat Membaca
Sinta tidak pernah ingin dilahirkan jika harus menanggung semua ini, perselingkuhan Ayahnya ditambah Ibunya yang mengalami depresi membuat hidup Sinta bagai neraka. Bahkan selama hidupnya kehadirannya di keluarga besar sangat Ayah tidak pernah dianggap.
"Lebih baik kamu ikut Ibu kamu ke rumah sakit jiwa." Lontaran kasar yang berasal dari adik Ayahnya menggema di indera pendengaran Sinta. Sinta yang saat itu masih duduk di bangku SMA hanya bisa diam tak membalas.
"Kamu sama Ibu kamu itu sama saja, sama-sama pengemis."
Kedua tangan yang ada di sisi tubuh Sinta mengepal, ia mencoba menahan amarah yang sudah siap meledak.
"Pengemis yang sudah dibuang tapi tak pernah sadar posisinya." Cukup, Sinta memilih untuk bangkit dan menatap tajam ke arah sang bibi.
"Cukup Bi, kalau Bibi memang tidak suka Sinta cukup hina Sinta jangan hina Ibu!"
"Kamu berani sama Bibi!"
"Ya, berani. Memang kenapa? Karena Bibi yang mengajarkanku melakukan ini."
"Dasar anak kurang ajar, keluar dari rumah keluargaku!"
Dengan senang hati Sinta keluar dari rumah yang dulunya ia tempati dengan kedua orangtuanya itu. Rumah yang konon katanya pemberian orangtua Ayahnya.
Sinta tidak menangis, ia mengemasi baju dan perlengkapannya yang sedikit dan melangkah keluar dari rumah. Tak ada air mata yang keluar, karena ia sudah lelah merasakan hal ini.
Tiga Tahun Kemudian
"Atas nama Liana." Ucap Sinta dengan nada suara ramah, ia sudah menggeluti dunia kerja saat ia memilih keluar dan pergi ke luar kota meninggalkan kenangan kelamnya. Sekarang ia bekerja sebagai pelayanan di sebuah kafe yang ada di pinggiran kota.
"Ya." Sinta mendekat dan meletakkan secangkir kopi dengan snacknya tak lupa ia menyapa ramah pelanggan kafe ini. "Semoga hari Kakak indah." Tidak ada yang aneh dari suara Sinta, karena Sinta mampu menyembunyikan kehidupan kelamnya dengan baik. Wajah yang cantik dengan aura yang ceria mampu menutup hal itu.
"Sudah selesai?" Sapa Arkana yang tak lain teman sejawat Sinta, "Sudah, aku balik dulu ya." Pergantian shift, yang memungkinkan Sinta untuk balik sore ini.
Arkan mengangguk dan tersenyum, "Hati-hati." Karena cuaca di luar sedang mendung, yang sebentar lagi pasti akan turun hujan.
"Iya." Sinta melangkah keluar menuju kos yang sudah lama ia tempati. Kos yang berada di perkampungan dimana tempat itu terkenal sebagai tempat prostitusi. Awalnya Sinta sangat terganggu dengan hal itu, tapi mau bagaiamana lagi? Kos yang memiliki harga murah hanya ada disana.
Saat tubuhnya melangkah terburu-buru untuk sampai di kos, ia tak sengaja menubruk tubuh kekar dengan beberapa tato yang menghias di tubuhnya. Tubuh pria yang sekarang menatapnya dengan tatapan yang sulit Sinta artikan.
"Maaf, saya minta maaf." Ucapnya dengan nada memohon ampun. Pria itu mendekat, ia menangkup wajah Sinta dan menatap lembut ke arah netra coklat itu. "Baby, kamu disini?"
"Kemana aja kamu Baby?" Sebuah pertanyaan yang asing menyapanya, Sinta tidak mengenal pria ini. Tapi kenapa pria ini seolah mengenalnya? "Saya bukan Baby kamu. Saya mohon lepaskan."
"Enggak, kamu harus aku hukum." Ujarnya dengan menggeret tubuh Sinta dan mengajaknya masuk di salah satu bilik yang cukup mewah di kawasan itu. Bilik spesial yang hanya digunakan Bimasatya, seorang pria yang sangat ditakuti di kawasan itu.
"Jangan." Ucap Sinta dengan tubuh yang sudah meringkuk di pojok ruangan ketakutan, bilik yang hampir mirip seperti kamar hotel itu menjadi saksi awal mula kisah mereka.
"Baby jangan kaya gitu, biasanya kita main juga lama." Mungkin pengaruh alkohol yang dikonsumsi Bima yang membuat penglihatannya seperti melihat Baby-nya.
"Saya mohon, saya bukan Baby. Saya Sinta." Dengan menangis Sinta memohon, ia ketakutan apalagi untuk kali pertama ia bersama seorang laki-laki di sebuah ruangan tertutup. "Enggak, kamu harus aku hukum." Langkah Bima mendekat ke tubuh Sinta, tangan besarnya meraub wajah dan sebuah ciuman kasar mendarat di bibir merah muda itu.
Sinta yang tidak pernah merasakan sensasi itu hanya bisa gelagapan dan kehabisan oksigen. "Kenapa kamu tidak membalas ciumanku, Baby?"
Mereka saling bertatapan karena Bima memutus ciuman. "Saya bukan Baby kamu. Saya Sinta."
Kesabaran Bima yang sudah habis ditambah napsunya yang bangkit membuat otaknya tidak bisa mencerna apapun yang diucapkan Sinta. Tubuh besar itu bangkit dan menindih tubuh mungil Sinta, memulai permainan dengan kecupan-kecupan kecil yang mampu membangkitkan sisi gelap Sinta.
Sinta belum pernah merasakan sensasi ini, sensasi yang membuat otak dan hatinya menyerukan hal yang berbeda. "Ah.... "
"Kamu suka Baby?" Senyum manis tercetak di wajah Bima, Sinta yang berada di bawah kungkungan itu hanya bisa menatapnya. Ia tidak menampik jika dia menyukai perlakuan Bima.
Disaat Sinta merasa kegerahan akibat tindakan Bima, Bima dengan tangannya sudah bisa melucuti pakaian yang dikenakan Sinta. Tak butuh waktu lama mereka sama-sama tidak mengenakan selembar kain.
Bima menatap lapar ke tubuh yang tergolek di bawahnya, tubuh yang indah yang pernah ia lihat.
"Kamu siap Baby?" Sebuah kecupan ringan mendarat di bibir Sinta bersamaan dengan sebuah benda asing melesat masuk ke dalam lembah kehangatan milik Sinta.
Semua itu berjalan cepat hingga keduanya mencapai klimaks, dan tubuh Bima terjatuh di sisi tubuh Sinta. Mereka terengah, dengan mata yang kian meredub. Rasa yang baru Sinta rasakan membuatnya menatap wajah yang masih memerah di sisi tubuhnya.
"Terimakasih." Ucap Bima disisa kesadarannya akibat kegiatan panas mereka. Bima tidak akan menyesal akibat tindakannya, karena ia merasakan sesuatu hal yang berbeda dari yang sebelumnya.
Sedangkan Sinta? Ia hanya bisa menatap datar ke langit kamar itu dengan otak yang menyerukan bahwa ia sudah diperk*sa. Tapi apa kata itu mewakilkannya saat ia juga menikmati permainan.
Kisah ini antara dua orang yang memiliki layar belakang suram, yang harus berjuang untuk masa depannya. Kisah antara seorang pelayan dan seorang boss preman, apakah yang akan terjadi selanjutnya?
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengutuk Waktu ✔ (Tamat Karyakarsa-KBM)
General FictionKetika hadirmu tak dihargai orang. Dan waktu seolah berpihak ke orang lain.