Sudah tayang sampai Bab 8 di Karyakarsa ya, link ada di bio.
Selamat Membaca.
Tidak ada dibayangan Sinta bahwa ia akan duduk di sofa berhadapan dengan seorang pria paruh baya pemilik gen yang sama dengan Bima.
"Jadi kamu pacar Bima?" Wait? Pacaran? Apa sebutan itu sangat cocok untuk hubungan singkatnya dengan Bima tempo hari?
Sinta menatap ke arah Bima yang duduk disamping Yudi, Ayah Bima, mencoba untuk membantunya dalam menjawab. Karena Bima mengajak Sinta dan dipastikan itu pacar Bima, maka Bima mengangguk.
Mimpi apa kamu Sinta hingga harus menghadapi dua orang asing ini?
"Benar tidak?" Ulang Yudi, ia tipe pria yang keras. Karena Sinta tak menjawab maka Yudi menatap putranya, "Kamu bohong sama Papa, ya?" Sebrengsek Bima masih ada orang yang peduli akan kehadirannya, sangat berbeda juah dengan Sinta.
"Papa nada bicaranya aja yang menakutkan makanya Baby nggak mau jawab."
"Anak sialan kamu Bim, Papa harap kamu tidak membohongi Papa lagi sekarang." Tangan yang sudah keriput itu menjewer daun telinga Bima menghantarkan rasa sakit yang tak berkesudahan. "Sakit Pa, lepas."
Karena mereka bertemu di tempat umum maka banyak mata yang melihat mereka, alhasil Yudi melepaskan tarikannya.
"Sakit tahu Pa." Interaksi dua orang itu membuat Sinta iri, Sinta menatap dengan perasaan haru. "Baby ini calon istri Bima. Dia juga hamil anak Bima." Ucapan lantang Bima membuat Sinta terbelalak, ia tidak mengharapkan Bima mengatakan hal itu.
"Maaf Om, semua yang dikatakan Bima tidak benar." Mau ditaruh dimana muka Sinta. Tetapi sangat berbeda dengan Sinta, Yudi menatap Bima dengan rasa yang penuh bangga.
"Jadi kamu sudah bisa menghamili anak orang?" Bima yang mendengar pertanyaan itu sontak tersenyum lebar, "Bisalah Pa, masa enggak."
"Papa bangga sama kamu. Kalau gitu urus pernikahan kalian, Papa nggak mau anak itu lahir tanpa ada ikatan yang jelas."
Double shit!
Sinta yang mendengar ucapan dua pria itu sontak memucat, aliran darahnya seolah dihisap oleh drakula. "Kamu tidak papa, kan? Putra Papa melakukan kesalahan padamu?"
Sinta kamu harus bangun, ini calon Papa mertua kamu khawatir.
"Diminum Baby." Tanpa Sinta sadari Bima sudah berpindah disampingnya dan memberikan air minum. Sinta menerima air itu dan mencoba mengembalikan kesadarannya. Ini kenyataan bukan?
Netra Sinta menatap Bima, "Kamu jangan ngaco deh."
Tangan besar itu membingkai wajah Sinta, dengan tatapan memuja. "Enggak Baby, kita akan menikah." Nama Sinta saja Bima tidak tahu, kenapa sekarang harus menikah?
"Urus semuanya, Papa harap dua minggu dari sekarang semua urusan mengenai pernikahan sudah selesai." Yudi memilih bangkit dan meninggalkan dua sejoli itu, kealpaan Yudi membuat Sinta mengeluarkan amarahnya.
"Apaan sih kamu, aku nggak mau nikah. Aku masih muda." Kalau dihitung usia Sinta kurang lebih sembilan belas tahun dan apa yang harus dilakukan perempuan sembilan belas tahun saat menikah?
"Baby ingat disini anak calon anak aku." Tunjuknya ke perut Sinta. Otak Sinta yang kecil memproses, ia yakin bahwa perbuatan satu malam itu tidak akan membuatkan hasil.
"Mana mungkin aku hamil, kita hanya melakukan satu malam." Sinta anak IPS dulu, dia tidak mengenal konsep pembuahan yang benar, meskipun peluang kecil jika Tuhan mengizinkan maka semua itu akan terjadi.
Bima tersenyum tipis, ia mengusap puncak kepala Sinta. Ingin rasanya ia membawa pulang Sinta sekarang dan menguncinya di dalam rumah.
"Tapi aku mengeluarkannya banyak bahkan kita sampai dua ronde." Ucapan yang terbilang senonok itu membuat wajah Sinta bersemu merah. Apaan sih Bima, mengumbar aib mereka di tempat umum ini.
"Nggak usah dibahas. Sekarang aku mau balik, sebentar lagi mau kerja."
Otak Bima mencerna, ia mencoba meloby Sinta. "Oke aku antar, tapi kamu harus aku tungguin." Tanpa bantahan Sinta menurut, ia tidak mau berdebat dengan Bima.
Mereka bangkit dan berjalan menuju mobil untuk sampai ke kafe.
***
"Itu siapa sih? Sejak tadi nggak pulang-pulang." Ucap salah satu teman Sinta, Sinta sendiri lebih memilih untuk tidak menggubris omongan itu.
"Kan pelanggan ya biarin."
"Tapi sejak tadi sore, masa nunggu kita tutup." Jam pulang memang sebentar lagi. "Udah nggak usah dibahas, kita bersih-bersih aja." Pasalnya sebelum closing semua hal yang ada di kafe harus bersih.
Setelah bersih, Sinta berjalan ke ruang absensi sebelum keluar menemui Bima. "Ayo kita pulang." Ajak Sinta, ia tak mau mendapatkan rumor di tempat kerja. Karena menurutnya itu membuat dirinya tidak nyaman.
Bima masuk ke dalam mobil dan menjalankan menuju ke sebuah rumah, rumah yang menjadi tempatnya untuk mengistirahatkan tubuh.
"Mau kemana? Aku mau balik ke kos." Karena jalan yang dilalui berbeda arah dengan jalan kos membuat Sinta tersadar.
Bima yang menyetir mobil hanya menoleh sesaat, " Kita pulang Baby."
"Pulang kemana? Aku tak punya rumah, yang kupunya hanya kos." Suara Sinta naik satu oktaf, membuat Bima tersenyum tipis. Wanita ah ya dia sudah menjadi wanitanya, sungguh Bima merasa bangga karena dialah yang pertama merasakan dan akan selalu dirinya.
"Kita buat rumah, buat keluarga kecil kita. Kamu tidak ingat tadi, Papa sudah bilang kalau kita harus menikah."
Awalnya Bima tidak berkeinginan untuk menikah, tetapi Yudi selalu merecokinya akan seorang cucu maka dari itu Bima menyeret Sinta ke dalam pernikahan.
"Kita buat bayi untuk Papa." Lanjutnya dengan nada suara bahagia, kalau Bima sangat tertarik akan namanya bayi maka Sinta tidak. Ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama dengan kedua orangtuanya, yang hanya bisa membuat tanpa mau mendidiknya. Bagi Sinta orangtuanya adalah orangtua yang egois, yang mementingkan dirinya sendiri.
"Kenapa kamu cemberut?" Bima yang tersadar akan perubahan raut wajah Sinta sontak bertanya. Ia tidak mau menebak, karena bagi pria wanita itu sangat merepotkan, mereka itu seolah lotre, jika benar tebakannya maka akan bahagia tapi jika salah tebakannya maka akan ada neraka di depan.
"Kita bicara di rumah." Sinta tidak mau terjadi kecelakaan makanya ia meredam gejolak yang ada di hatinya.
Hingga mereka sampai, Sinta tetap diam.
"Bicaralah, aku akan mendengarkan." Ucap Bima dengan raut wajah serius. Sinta menatap Bima, pria asing yang telah mencuri masa depannya. "Aku tak mau memiliki bayi."
Indera pendengaran Bima seolah tuli, ia mencoba mendengar kembali apa yang diucapkan Sinta. "Apa?"
"Aku tak mau punya bayi." Cicit Sinta dengan wajah yang menunduk, tangannya ia remas. Bima yang paham kondisi Sinta hanya mengusap punggung kecil itu, "Aku tak mau punya bayi. Hiks... Hiks... Hiks."
Suara tangis Sinta mengisi rumah mewah itu, rumah bergaya Eropa dengan berbagai ornamen yang khas. Bima mencoba membiarkan emosi Sinta keluar, ia tahu jarak usia dirinya dengan Sinta sangatlah jauh, jadi ia sangat memaklumi ketidakmampuan Sinta.
"Everything gonna be okay." Sebuah kalimat yang selalu dilantunkan Bima untuk mencoba mengubah suasana hati. Dan kalimat itu juga yang mampu menghentikan suara tangisan Sinta.
Wajah yang memerah dengan kedua netra yang membengkak membuat wajah Sinta lucu, itu yang ada di penglihatan Bima.
"Imut banget sih, Calon istriku."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengutuk Waktu ✔ (Tamat Karyakarsa-KBM)
BeletrieKetika hadirmu tak dihargai orang. Dan waktu seolah berpihak ke orang lain.