Cerita ini sudah sampai Bab 17 di Karya-karya, link ada di bio
Selamat Membaca
Teriakan dari bibir Sinta membuat Bima melepaskan pelukan perempuan itu. Dorongan yang begitu tiba-tiba membuat perempuan itu terhuyung ke belakang dan jatuh di atas lantai.
"Sakit." Cicitnya dengan nada suara yang dibuat lembut dan mendayu. Sedangkan Bima yang masih dalam mode kaget sontak menatap Sinta yang masih berdiri tidak jauh dari posisinya.
"Sayang... " Ucap Bima dengan berjalan perlahan ke arah Sinta. Tanggannya meraih tangan Sinta untuk mau menatapnya. "Ini semua tidak seperti yang kamu bayangkan."
Dalam hati Sinta mengutuk harapannya yang terlalu tinggi akan sosok Bima. Harapan memiliki keluarga yang baik dan utuh sepertinya akan jauh dari harapan. Bagaimana tidak, baru dua hari menyandang status istri tetapi ini sudah ada perempuan asing yang datang ke rumahnya. Marah, kecewa, sedih menjadi satu.
"Terus apa?" Tanyanya dengan tatapan amarah tepat ke manik perempuan asing itu yang masih setia duduk di atas lantai. "Kamu pacarnya Bima? Atau perempuan yang dia bayar buat memuaskan nafsunya?"
Dalam pikiran Sinta ia harus menerima masa lalu suaminya itu, karena ia juga tidak bisa merubahnya. Yang ia bisa lakukan hanya menekankan kepada Bima agar tidak mengulanginya lagi.
"Kenapa nggak jawab? Kamu siapa?" Ucap Sinta kembali lagi dengan nada suara yang sudah meninggi.
Perempuan itu masih terdiam dengan netranya menatap Bima mencoba meminta bantuan, siapakah perempuan yang ada disini? Batinnya.
"Disa pulanglah, aku nggak butuh kamu lagi." Ujar Bima karena Disa tidak menjawab pertanyaan Sinta. Sinta yang mendengar ucapan Bima sontak menatap pria itu. "Oh namanya Disa, cantik sekali."
Dari kaca mata manapun Disa sangat cantik, jangan lupakan tubuhnya yang sexy. "Kamu mau dipakai Bima, sekarang? Oh kalau mau ya silakan, aku mau keluar aja." Marah Sinta, entahlah ia marah akan kedatangan perempuan itu atau kecewa akan harapannya.
"Disa pulang!" Perintah Bima dengan menatap tajam ke arah perempuan yang masih terdiam. Disa yang mendengar ucapan Bima yang begitu menglegar sontak terbangun, "Gue balik dulu Bim. Kalau lo cari gue, gue ada disana." Tanpa mengindahkan raut wajah Sinta, Disa mengatakan hal itu.
Setelah Disa keluar dari rumah Bima, barulah Sinta menatap tajam ke arah suaminya itu.
"Oh jadi kamu sering sama Disa? Atau sama perempuan lain, siapa lagi?" Todong Sinta. Sinta akui bahwa ia salah menaruh harapan kepada pria yang memiliki masa lalu kelam.
"Ayo duduk dulu. Kita bicarakan dengan tenang." Bima mengajak Sinta untuk duduk di ruang tamu, ia bahkan memberikan minuman kepada Sinta agar amarahnya berkurang. Baru saja ia ingin memiliki keluarga kecil yang bahagia, datang masa lalunya. Tapi Bima sadar bahwa ini salahnya karena ia belum menyelesaikan masa lalu itu.
"Disa itu masa lalu aku, jadi sekarang sudah tidak ada alasan lagi aku sama dia. Sekarang aku mau sama kamu, melangkah bersama kedepan." Bagi sebagian perempuan pasti akan berbunga hatinya jika mendengar ucapan itu, tapi tidak dengan Sinta. Bayangan akan perselingkuhan membuatnya takut untuk melangkah ke depan.
"Belum tentu. Kamu bicara kaya gitu tapi dibelakanku bisa jadi sebaliknya."
"Kalau itu yang kamu takutkan, ayo kita ke rumah Disa buat perjanjian." Bukti jauh lebih penting dari pada apapun di mata Sinta. "Buat apa?"
"Agar kamu percaya sama aku, agar rumah tangga kita lancar." Raut wajah Bima yang penuh permohonan membuat Sinta sedikit iba, tapi egonya masih tetap sama.
"Baiklah." Potong Sinta, ia bangkit dan berjalan menuju kamar tidur untuk mengambil barang-barangnya. Karena rencana awal mereka hari ini akan pergi ke kampung halaman Sinta.
"Ayo, aku nggak mau lama-lama disini." Bima yang melihat Sinta sudah menentang tas besar sontak berdiri dan melangkah keluar mengikutinya.
Disepanjang perjalanan Sinta hanya terdiam, memikirkan apa hubungan ini akan berhasil atau tidak. Bagaimanapun ini pengalaman yang membuat Sinta takut, bayangan masa lalu yang suram juga mengikuti langkahnya.
Banyak orang yang bilang mengatakan untuk berdamai, tapi mereka tidak tahu apa yang terjadi di dalam relung hatinya. Bergejolakan akan hati dan logika sering kali membuat Sinta tidak bisa berpikir panjang.
"Jangan dipikirkan, aku serius akan rumah tangga ini." Ucap Bima dengan menautkan tangannya ke tangan Sinta dan membubuhkan kecupan di punggung tangannya. Sedangkan tangan kirinya sibuk memutar kendali, "Kenapa bisa yakin? Kamu pikir aku anak kecil yang bisa dibodohin sama kamu?"
"Aku sudah menikahi kamu Baby, jadi apa yang harus dikhawatirkan?" Menikah memang ikatan sakral tapi banyak orang yang begitu mudah mengkhianati pasangan. Maka dari itu Sinta tidak mau berharap lebih.
"Entahlah."
"Bicara Baby, jangan dipendam. Semuanya akan kita bicarakan jika itu mengganjal satu sama lain." Netra Sinta menatap wajah Bima yang serius mengemudi, tangan mereka masih bertautan. "Nggak tahu."
"Oh, baiklah." Hingga mereka sampai di sebuah rumah makan, "Loh kok disini? Katanya mau ke rumah pere kamu?" Ucap Sinta yang tak terima akan jalan pikiran Bima. Bima sendiri memilih untuk membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil.
"Ayo keluar, kamu mau disini." Ungkap Bima dengan mengetuk kaca mobil yang ada di samping Sinta. Sinta mengikuti keinginan Bima dengan wajah tertekuk.
"Kita bisa bicara hal itu lain kali. Lagian Disa tidak akan ke mana-mana. Lebih baik kita ke rumah kamu." Bujuk Bima dengan suara lembut, dalam hati Bima tidak akan mengiyakan ucapan Sinta. Karena ia yakin jika Sinta akan melayangkan hal-hal yang tidak baik jika bertemu dengan Disa. Ini hanya feeling saja.
"Awas kamu!"
Tersenyum Bima menatap Sinta yang berjalan mendahuluinya, menatap dari belakang ia mampu melihat tubuh mungil yang akan menemaninya itu.
Apakah Bima bahagia dengan menikahi Sinta? Jawabnya adalah iya, jauh di lubuk hatinya ia sangat menyayangi sosok Sinta. Mungkin sejak pertemuan mereka dulu dan untuk pertama kali berjumpa kembali sebelum kejadian itu. Bima sudah tahu bahwa itu Sinta? Jawabnnya ya, tapi ia juga tidak menargetkan bahwa perempuan yang menemaninya malam itu adalah Sinta. Karena bagaimanapun Sinta jauh terhormat untuk diperlakukan seperti itu.
"Pesan apa yang kamu mau. Nanti aku yang bayar." Jelasnya karena Sinta tak memiliki uang banyak untuk makan disini.
Dengan tatapan terfokus ke buku menu Sinta memesan beberapa menu makanan, tak lupa ia juga menanyakan menu makanan yang akan dimakan suaminya.
"Sudah nggak usah cemberut. Nanti kita bisa bicarakan itu lagi."
"Enak aja, memang ya kamu senangkan dipeluk perempuan itu. Jadinya kamu keberatan kalau aku mau labrak itu pere."
Tersenyum Bima menanggapi ucapan Sinta, "Bukan itu. Aku hanya malas melihat pertengkaran yang akan terjadi."
"Bullshit."
"Terserah kamu mau percaya atau tidak, tapi itu memang benar."
Dalam hati Sinta akan menyusun rencana untuk melabrak perempuan itu, entah besok atau kapan. Ya, ia akan memberi pembelajaran kepada perempuan itu.
Tbc
![](https://img.wattpad.com/cover/322350353-288-k620408.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengutuk Waktu ✔ (Tamat Karyakarsa-KBM)
Ficción GeneralKetika hadirmu tak dihargai orang. Dan waktu seolah berpihak ke orang lain.