Bab 7

32 9 0
                                    

Tubuh yang mungil dan sangat pas untuk dipeluk Bima itu meringkuk sangat hangat di bawah selimut. Bima yang sudah terbangun sejak pukul lima pagi tadi hanya bisa memandangi tubuh istrinya.

Bima tidak mau mengganggu istirahat Sinta, jadi ia memilih untuk bangkit dan membuat secangkir kopi untuk menemaninya pagi ini. Sejak tadi malam Bima sudah memutuskan untuk memberi pelajaran kepada ayah mertuanya, ah, sebutan yang tak pantas untuknya.

"Ini akan menjadi momen kamu bisa membalas semua rasa sakit yang dia lakukan." Ucap Bima dengan menatap wajah polos Sinta, sejak terbangun tadi Bima sudah memberikan instruksi kepada orang kepercayaan untuk mencari orang-orang yang menanam saham di perusahaan Narendra. Dan, ya, beberapa orang yang ia kenali ternyata menanamkan saham di perusahaan itu. Akal liciknya akan bermain disini, tidak akan ada pertumpahan darah tetapi ini hanya permainan strategi.

Bima yang berkuasa, Bima yang hebat mencoba melobi semua yang ia kenal untuk mau melepaskan sahamnya kepada dirinya. Awalnya mereka tidak mau, karena perusahaan Narendra cukup membuat mereka merasakan keuntungan. Tetapi dengan harga yang cukup tinggi akhirnya mereka melepaskannya.

Jadi pukul sepuluh pagi ini Bima sudah mengakusisi kepemilikan saham kurang lebih 45%, cukup besar bukan? Tetapi itu semua akan ia serahkan kepada Sinta, karena Sinta lah yang jauh lebih berhak.

Suara erangan Sinta yang terbangun membuat Bima mendekat, ia menatap lembut ke manik hitam milik Sinta.

"Ini jam berapa?"

"Sepuluh."

"Kenapa nggak bangunin aku?" Sinta yang semula berbaring sontak terduduk dengan netra yang mencari jam yang ada di ruangan itu. "Argh, telat. Kita bisa telah jenguk Mama."

"Nggak akan, aku sudah bicara sama perawat yang khusus menangani Mama. Jadi kita bisa berkunjung ke sana kapanpun."

"Mana bisa?" Wajah penuh tanya membuat Sinta nampak manis, ah, ingin rasanya Bima menahan istri kecilnya itu di kamar ini. Tapi ia tidak boleh egois, "Bisa, uang bisa menjawabnya."

"Kamu nggak kerja Bima, lantas kamu bayar pakai apa?" Sinta yang tidak tahu bahwa Bima adalah seorang pembisnis yang akan meneruskan perusahaan Yudi. Tetapi untuk sekarang ia masih terfokus dengan dunia lukisan, yang mana ia mendapatkan pundi-pundi uang cukup banyak disana.

"Pakai uang Sayang, aku nggak kerja tapi uang akan medatangiku." Ucapnya dengan nada suara yang congkak. "Aku jadi istrimu selama beberapa hari ini tidak pernah melihatmu bekerja. Jadi jangan mengarang."

Tubuh Bima mendekat, tangannya menangkup wajah Sinta yang sembab akibat bangun tidur. "Besok setelah kita selesaikan masalah disini akan aku ajak kamu kesana." Ke sebuah galeri yang sudah beberapa tahun menemani Bima.

"Lebih baik kamu mandi, kita sarapan, dan lanjut ke rumah sakit." Sinta mengangguk, ia mengiyakan saja perintah suaminya itu.

***

Menurut penuturan perawat, Mama sedang tidur sekarang. Jadi Sinta berani untuk masuk ke dalam, melihat kondisi Mamanya itu.

"Beliau sudah membaik Mba." Ujar perawat yang hari ini menemani Sinta dan Bima.

"Tidak pernah lagi berteriak, bahkan menurut dokter kalau ada dukungan keluarga pasti Ibu bisa sembuh."

"Tapi menurut perawat kemarin ada seorang pria yang rutin kesini. Siapa dia?" Netra Sinta masih terfokus ke tubuh Mamanya yang tengah tertidur pulas, wajah yang dulu sangat menakutkan untuk dirinya yang masih remaja sekarang sudah menua dengan garis-garis halus melingkupi wajahnya. Semua itu tidak menutup kecantikan alami yang dimiliki Silvi, Mama dari Sinta.

"Kalau tidak salah, waktu itu saya baca kartu pengenalnya dia masih anak SMA Mba. Wajahnya juga hampir mirip dengan wajah Mba. Apa mungkin adik Mba?" Netra Sinta dan Bima bertemu, Sinta tidak memiliki adik dari Silvi tetapi itu mungkin adik dari Papanya.

"Dia kapan lagi berkunjung kesini Sus?" Bima ingin memastikan informasi yang ia dapatkan tadi pagi. "Biasanya satu minggu dua kali, mungkin besok Pak. Karena dia sering kesini saat hari sabtu." Kepala Bima mengangguk, ia akan berbicara dengan adik dari Sinta itu.

"Sekarang saya izin keluar dulu Mba, Pak. Karena ada hal yang harus saya kerjakan." Pamit perawat itu meninggalkan Bima dan Sinta. Sinta mengangguk, ia melepas perawat itu sampai di depan pintu. "Terimakasih Sus, sudah mau merawat Mama saya."

"Sama-sama Mba. Kalau ada apa-apa nanti hubungi saya." Meskipun Silvi tidak pernah mengamuk kembali tetapi perawat itu hanya ingin berjaga-jaga.

Sinta melangkah masuk dan mendekati brangkar, tangannya mengusap punggung tangan Silvi. Karena sentuhan itu kedua kelopak mata Silvi terbuka, netra yang dulu menatap Sinta dengan sorot mata marah sekarang berubah. Dimana sorot mata itu memancarkan sebuah kerinduan.

Apakah Silvi merindukannya?

"Anak Mama? Kemana kamu?" Bukan bentakan yang keluar tetapi pertanyaan yang sangat wajar ditanyakan oleh seorang orangtua.

Kerinduan yang membuncah, membuat air mata yang sudah ia tahan sejak tadi keluar tanpa bisa Sinta bendung. "Sinta pergi Ma."

Wajah Silvi tersenyum tipis, tangannya mengusap puncak kepala Sinta. "Itu lebih bagus. Tapi Mama merindukanmu." Air mata yang sudah membasahi pipi itu keluar jauh lebih banyak, seakan mengatakan jika Sinta juga merindukan Mamanya.

"Mama harus sehat, ya. Nanti tinggal sama Sinta." Ujar Sinta disela sesengukan akibat tangisannya. Bima mendekati tubuh Sinta yang sudah bergetar, ia mengusap punggung istrinya seolah memberikan dukungan.

"Mama sudah bahagia disini. Oh iya siapa dia?"

Gelengan kepala Sinta menjawab, "Mama harus kembali ke rumah. Dan lagi sekarang Sinta sudah memiliki rumah yang akan melindungi kita Ma. " Mendengar kata rumah, Silvi tersenyum tipis. Dulu ia juga sangat bahagia saat seorang pria memberikan rumah dengan segala perhatiannya.

"Itu rumah kamu bukan rumah Mama. Dan lagi Mama tidak mau merepotkanmu." Sebagai orang tua Silvi tidak mau menjadi beban anaknya, ia hanya ingin menikmati masa tuanya disini.

"Mama jangan bilang kaya gitu. Sinta tidak suka. Oh iya ini suami Sinta, Bima." Perkenalan antara menantu dengan mertua itu terjadi sangat sederhana. Bahkan setelah Bima menjabat tangan Silvi, Silvi langsung mengungkapkan keinginannya.

"Nak Bima suami Sinta? Jaga dia baik-baik, jangan sampai kaya Mama ya Nak. Mama telah gagal menjadi istri dan Mama untuk Sinta." Gagal di pernikahan dengan tekanan psikologi membuatnya kalut hingga akhirnya kesehatannya terguncang. Beban yang seharusnya ia bagi itu hanya bisa mendekam di relung hatinya, Silvi tidak mampu untuk berbagi.

"Iya Ma."

Setelah pertemuan mereka yang diisi dengan berbagi kabar, Silvi mampu menangkap bahwa putrinya itu sangat kuat menjalani hidup dengan apa yang bisa dilakukan anak diusianya.

"Jadi kamu diusir sama Bibi kamu?"

"Iya, dan Sinta pergi ke luar kota dengan apa yang Sinta punya. Gelang yang Mama beli buat Sinta harus Sinta jual buat bertahan hidup." Cerita Sinta, Silvi yang mendengarkan itu hanya bisa menundukkan kepala dengan rasa bersalahnya.

"Maafkan Mama ya Na. Jika saja Mama bisa kuat demi kamu, pasti semua itu tidak akan terjadi." Genggaman tangan Silvi lakukan, "Semua sudah terjadi Ma. Jadi jangan merasa bersalah lagi. Sekarang Mama yang harus sehat agar bisa kembali pulang. Sinta janji akan membahagiakan Mama."

Jika saja itu bisa, maka Silvi akan berusaha. Tetapi kembali lagi, ia belum bisa menghilangkan bayangan pengkhianatan mantan suaminya itu. Dan itu sangat mempengaruhi jiwanya.

Tbc

Mengutuk Waktu ✔ (Tamat Karyakarsa-KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang