Bab 8

33 8 0
                                    

"Mama akan ada di sini kalau kamu rindu, nak."

Sinta terdiam, ia menatap wajah Silvi yang sudah ceria.

"Tapi Ma. Sinta mau ajak Mama jalan-jalan." Meskipun harus mengajak perawat dan tenaga medis lainnya untuk berjaga-jaga. Tetapi ide itu langsung ditolak oleh Silvi.

"Kamu jalan-jalan sama Bima saja. Mama disini." Memaksakan kehendak juga bukan yang terbaik, jadi Sinta memilih untuk mengurungkan keinginannya.

"Yasudah Sinta pulang dulu Ma. Besok kemari lagi." Karena jam dinding sudah menujuk pukul lima sore, setelah izin pulang, baik Bima dan Sinta memilih untuk mendatangi perawat yang merawat Silvi.

"Mba sama Bapak mau pulang?" Sapa ramah perawat tadi, perawat yang bernama Lili. "Iya, kami nitip Bu Silvi ya Sus."

"Iya, kalau boleh besok Bapak sama Mba bisa konsultasi ke dokter. Karena besok dokter akan visit."

Bima menatap Sinta seolah mengiyakan ucapan Lili. "Baik besok kami akan berujung." Ucap Bima memutuskannya dengan nada tenang, Sinta hanya bisa mengikuti keinginan suaminya itu. Setelah berbasa-basi, akhirnya mereka pulang ke hotel.

"Aku mau makan disana." Sinta menujuk ke salah satu restoran yang ada di tepi jalan mereka kembali ke hotel. Rumah makan yang sangat ia rindukan, dulu Silvi selalu mengajaknya makan disana.

"Baiklah kita mampir kesana." Putus Bima yang mengarahkan mobilnya ke restoran.

"Ma, Mama makan yang banyak." Ucap Sinta kecil dengan memindahkan lauk ke atas piring milik Silvi. Silvi yang menerima perlakuan Sinta hanya mengangguk dan tersenyum ke arah putrinya itu.

Putri yang sangat ia sayangi sepenuh hati, putri yang akan selalu ia jaga kelak. "Besok kalau Sinta ulang tahun mau dirayakan dimana?"

Sinta yang belum tahu akan prahara rumah tangga kedua orang tuanya menatap polos ke arah Silvi. "Dimanapun yang penting, ada Mama sama teman-teman."

Silvi mengangguk, ia akan membuat pesta ulang tahun putrinya itu di salah satu restoran, dimana restoran itulah yang sekarang dikunjungi Sinta.

Hari berganti hari, dan waktu ulang tahun Sinta sudah dekat. Kesibukan Silvi dalam menyiapkan pesta ulang tahunnya tidak diimbangi dengan sang Ayah, Narendra. Bahkan Narendra sering pulang malam dan beralasan lembur.

"Baru pulang Mas?" Tanya Silvi saat ia mendapati Narendra keluar dari kamar mandi di jam satu malam. Narendra hanya diam dan melangkah ke almari baju.

"Aku sudah sabar selama beberapa tahun belakangan ini Mas." Tekan Silvi dengan sorot mata terluka. Ia tahu ia sering dicemooh oleh banyak orang sebagai istri bodoh yang masih bertahan dengan suaminya itu.

Tubuh Narendra berbalik, wajah yang semula tenang itu berubah dengan sorot marah. "Maksud kamu apa?!"

"Memang aku tidak tahu apa yang kamu lakukan dibelakangku? Aku tahu semuanya, tapi aku memilih diam. Karena aku yakin mungkin kamu akan kembali ke rumah."

Sorot mata keduanya bertemu. Tetapi Silvi memutus pertemuan mata itu. "Besok ulang tahun Sinta, jika kamu tidak datang. Kupastikan surat gugatan cerai akan datang ke kantor."

Narendra tersenyum mencemooh.

"Memang kamu siap kehilangan apa yang sekarang kamu miliki? Kamu itu hanya putri mantan orang kaya yang tidak pernah merasakan kesulitan. Jika kamu berani melakukan hal itu jangan pernah kamu berharap bahwa aku akan sudi menafkahi putrimu." Itu kalimat terakhir yang terjadi di malam menjelang ulang tahun Sinta, dimana Silvi ingin memberontak atas apa yang telah ia alami selama ini.

Keesokan harinya, Silvi dan Sinta menuju tempat yang akan dilaksanakan ulang tahun.

"Papa datang, kan Ma?" Tanya Sinta saat mereka sudah mengenakan atribut ulang tahun, Sinta menoleh ke arah Mamanya.

Silvi hanya bisa mengusap puncak kepala Sinta. "Semoga pekerjaan Papa tidak banyak." Karena Silvi tidak mau banyak berharap.

"Padahal Sinta mau kita bertiga berfoto bersama." Sebuah permintaan anak kecil yang akan membekas sampai dewasa. Dan permintaan itu tidak pernah terwujud sampai palu hakim memutuskan tali pernikahan, ya, Silvi menyerah.

"Ayo keluar." Ujar Bima dengan mengetuk kaca jendela mobil, sedangkan Sinta masih termangu menatap restoran itu.

"Ah ya." Membuka pintu Sinta keluar, ia menatap bangunan yang masih sama saat ia melangsungkan pesta ulang tahun dulu. "Kamu kenapa? Nggak enak badan?"

"Bukan."

"Terus?" Bima khawatir.

"Ada hal yang terjadi di tempat ini, sebuah peristiwa yang tidak pernah aku lupakan."

"Baiklah." Ucap Bima mengajak Sinta untuk masuk dan memesan beberapa makanan.

Bima mengajak Sinta duduk di pojok ruangan dengan pemandangan yang langsung ke jalanan yang sore hari ini terasa ramai. Saat netra Bima melihat ke wajah Sinta, nampak jelas bahwa bibir Sinta menjadi pucat. Bima tidak tahu apa yang membuat Sinta seperti ini.

Tangan Bima mencoba menggenggam tangan Sinta, "Ada apa? Kenapa wajah kamu pucat?" Sinta sontak menatap Bima, ia menggeleng. "Tidak papa."

Jawaban yang tidak membuat Bima lega.

"Jangan bohong Sinta, aku tahu kamu tidak baik-baik saja."

Sinta menunduk, ia merasa jantungnya berdetak tak karuan saat ingatan itu datang.

"Ah, enggak. Hanya capek saja."

"Aku serius Sinta. Kamu kenapa?" Bagaimanapun Bima khawatir, ia juga tidak mau terjadi apa-apa dengan istrinya.

"Kita keluar oke? Nanti makanannya biar dibungkus." Potong Bima dengan menarik tubuh Sinta keluar dari restoran dan meminta bill untuk membayar pesanan.

"Saya tunggu di luar ya Kak." Bima menginstruksikan pelayan untuk membungkus semuanya dan ia akan menunggu di dalam mobil.

"Baik Pak."

Setelah menyelesaikan transaksi, Bima mengajak Sinta masuk ke dalam mobil. Ia memberikan air mineral untuk menenangkan Sinta.

Tubuh Sinta bersandar di sandaran jok dengan mata yang tertutup. Bima yang melihat hal itu hanya bisa terdiam tanpa mau menganggu. Bima pikir Sinta butuh waktu, dan membiarkannya adalah kunci. Setelah Sinta merasakan ketenangan baru ia mau membuka mulut dan menceritakan apa yang terjadi.

"Aku nggak tahu harus berkata apa, tapi aku pernah merasakan kecewa yang sangat besar." Ucapnya lirih dengan tatapan sayu, Sinta pikir ini akan menjadi kenangan yang seharusnya ia bawa mati.

"Apa? Ceritalah." Karena orang yang ingin bercerita tidak membutuhkan saran, tapi ia hanya ingin didengarkan.

"Waktu itu aku habis ulang tahun, kata Mama Papa akan datang tapi sampai ulang tahun selesai Papa tidak datang... Mama mencoba membesarkan hatiku dengan cara mengajak aku ke mall yang dekat dari sini. Dan apa yang aku lihat?" Wajah Sinta menoleh ke arah Bima dan menemukan mata tenang miliknya.

"Papa makan bersama dengan seorang wanita. Dengan kue kecil ada di tengah meja, seolah itu perayaan ulang tahun. Saat itu tubuhku hanya bisa mengigil menahan sesak, dan yang aku ingat sejak saat itu Mama memilih untuk mengabaikan Papa."

Hening sejenak, Bima mencoba mencerna apa yang terjadi akan diri Sinta.

"Papa yang kuanggap baik ternyata sama saja dengan pria lainnya. Mungkin saat itu aku kecewa dengan harapanku. Dan aku putuskan untuk menghancurkan harapan, aku tidak berharap akan kehadirannya kembali. Atau melihatnya."

"Apa dia tidak mengucapkan selamat ulang tahun?" Netra nelangsa nampak jelas di wajah Sinta. "Tidak, bahkan aku rasa ia tidak mengingat bahwa ada anak yang bernama Sinta di dunia ini."

Tbc

Mengutuk Waktu ✔ (Tamat Karyakarsa-KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang