Cerita ini sudah ada di Karyakarsa, silakan mampir.
Selamat Membaca
Jika Sinta bisa, maka ia berharap semoga tidak dilahirkan di keluarga itu. Keluarga yang secara sadar melukiskan duka di hidupnya. Keluarga yang begitu buruk memperlakukannya. Keluarga yang tak layak disebut keluarga.
"Baby." Bima mencoba menepuk pundak kepala Sinta yang tengah serius menatap ke depan, menatap sebuah pintu putih yang sudah lama tidak ia kunjungi.
"Baby... Kalau kamu nggak siap kita bisa kembali besok."
Sinta menoleh, ia menatap wajah Bima yang begitu khawatir.
Tetapi Sinta merasa ia tidak bisa mundur. Ia harus bertemu dengan Mamanya, sudah lama ia tidak mengunjunginya.
"Mama ada di dalam."
"Ya, Mama ada." Karena tadi mereka sudah bertanya akan perawat yang bertugas di rumah sakit ini. Dan menurut penuturan mereka, beberapa bulan belakangan ada seorang pria yang rutin berkunjung.
Entah siapa.
"Temani aku ya." Suara yang begitu lirih dan sarat akan permohonan. Dulu jika Sinta berkunjung ia hanya bisa menatap dari jauh kondisi Mamanya, karena saat itu kondisi Mamanya begitu memprihatinkan. Dan ia juga ingat, bahwa ia hanya anak yang kurang perhatian yang harus terjebak di kondisi seperti ini.
Miris memang.
"Always Baby. Aku ada di sisi kamu." Ucapan Bima bukan bualan saja, ia sudah bertekad untuk ada di setiap kehidupan Sinta entah sedih, bahagia, atau menangis. Sekarang tujuan hidupnya jelas, jadi tidak ada alasan Bima untuk menjadi pengecut.
"Ayo." Bima menautkan tangannya dengan tangan Sinta, mereka bangkit dan berjalan menuju pintu putih itu.
Saat langkah kaki mereka mendekat, detak jantung Sinta berdetak tak karuan. Rasa takut, rasa sedih, rasa rindu semuanya muncul di permukaan. Entah ini ketakutan atau memang trauma, Sinta sendiri tidak tahu.
"Kamu baik-baik saja, Baby?" Karena raut wajah Sinta berubah pucat dengan dahi yang dipenuhi keringat. "Aku takut." Cicitnya dengan memeluk tubuh Bima, emosi yang tercipta dari masa lalunya membuat Sinta merasakan ketakutan atau lebih ke arah kecemasan.
Tangan Bima mengusap punggung Sinta yang bergetar, Bima paham akan apa yang dirasakan Sinta.
"Semua akan baik-baik saja. Tapi aku tidak akan memaksa kamu Baby." Masih muda dengan beban masalah yang besar membuat Bima khawatir.
"Yaudah kita besok kesini lagi. Sekarang kita cari penginapan." Bima mengajak Sinta untuk keluar dari rumah sakit jiwa, berbekalkan salah satu aplikasi ia memilih sebuah hotel yang terletak tidak jauh dari rumah sakit itu.
"Istirahat, oke?" Tubuh Sinta sudah berbaring di atas ranjang dengan posisi miring, tangan Bima membelai wajah cantik istrinya. Dulu, wajah inilah yang membuat Bima yang dulunya berandalan ingin mengenyam sekolah setelah Yudi membiarkan sikap nakalnya. Yudi akui membesarkan Bima tidak mudah, bocah itu sangat pembangkang pada masanya.
"Kamu tahu hidup itu bukan masalah kenapa kita dilahirkan tetapi hidup itu masalah sekuatnya kita bertahan. Dulu aku bukan tipe pria yang suka akan alasan, tapi sejak aku tahu bahwa di dunia ini bukan hanya ada aku, maka aku mencoba menerima." Ucap Bima dengan menatap raut wajah Sinta. Sinta sendiri juga menatap wajah Bima.
"Kenapa?"
Bima terdiam, ia mengecup kening Sinta.
"Karena sepanjang kita hidup pasti akan banyak ujian yang datang, dan pastinya dengan porsi masing-masing. Aku tidak tahu banyak hal mengenai masa lalu kamu Baby, begitu juga sebaliknya. Jadi dipastikan porsi kita berbeda di mata Tuhan." Hidup di jalanan membuatnya sadar bahwa kebebasan tidak serta merta membuatnya terlepas dari masalah. Bahkan bisa dibilang banyak masalah akibat ia tinggal di jalan.
"Kamu ingat tadi kata perawat, bahwa Mama sudah membaik. Jadi jangan banyak pikiran, oke?" Jika ketakutan itu yang ditakutkan Sinta, Bima akan mencoba menghibur. "Mama kamu juga hebat, ia perempuan yang bisa bertahan sampai di titik ini. Ya meskipun dengan kondisi seperti itu." Lanjut Bima.
Sinta mengangguk.
"Dulu Mama sangat percaya akan Papa, tapi kepercayaan itu dibalas dengan sebuah pengkhianatan."
Orang setia dipertemukan dengan orang pengkhianat bukanlah hal tabu lagi, tapi itu sudah lumrah di lingkungan masyarakat sekarang. Bahkan mereka tidak lagi bermain di belakang tetapi menujukkannya di media sosial seolah mengejek pasangan sahnya.
"Ini dunia, pasti kamu akan merasakan kecewa. Jadi jangan pernah berharap dengan manusia. Termasuk aku, karena aku yakin ke depannya pasti ada sikapku yang mengecewakanmu, Baby." Bima sadar bahwa ia hanya manusia biasa.
"Termasuk perselingkuhan?" Tanya Sinta dengan sorot mata penuh tanya. Bima terdiam, ia menatap ke arah berlawanan dengan Sinta. Ia memang nakal dengan banyak stigma yang selalu orang katakan, tapi ia akan berusaha menjadi pribadi yang jauh lebih baik setelah mengembang status sebagai suami.
"Tidak, mungkin masa lalu aku kelam tapi aku tidak akan menciptakan neraka untuk anakku kelak." Hidup tanpa pengawasan seorang ibu membuatnya berandalan tetapi ia tidak akan membuat anaknya seperti dirinya.
"Papa kamu yang harus menebus kesalahannya. Dan aku pastikan ia akan bersimpuh di hadapan kamu, Baby." Itu sebuah tekad, yang akan mati-matian Bima lakukan. Seberapa besar pengaruh pria tua yang harusnya ia panggil Papa mertua itu akan ia lawan dengan kuasa Bima.
"Aku tak pernah berharap seperti itu. Tapi yang aku inginkan bisa berkumpul dengan Mama kembali."
Tersenyum Bima mengangguk, ia akan usahakan penanganan Ibu mertuanya. "Nanti kita bicarakan dengan dokter yang merawat Mama, ya?"
"Iya."
"Sekarang tidur, aku temani." Bima tetap berada ditempatnya dengan tatapan tertuju ke kelopak mata Sinta yang mulai menutup. Wajah yang tenang membuatnya semakin menawan. Setelah dirasa Sinta tertidur pulas, Bima bangkit ia berjalan keluar kamar tidurnya untuk menelpon seseorang.
"Tolong kamu cari tahu pria yang bernama Narendra Bagaskara."
".... "
"Cari tahu juga kelemahan dia, kita hancurkan kekuasannya." Tanpa menutup telepon Bima tersenyum tipis, "Besok harus kamu kirim ke email aku, tidak ada banyak waktu."
".... "
"Baiklah."
Sambungan terputus, Bima berjalan menuju balkon hotel untuk melihat panorama malam ini.
"Gelap, seperti itu masa laluku. Tapi aku akan usahakan masa depan yang cerah untuk keluarga kecilku." Itu semua adalah tekad, karena pengalaman itulah yang membuat Bima akan ektra memperhatikan keluarganya.
Suara sering ponsel membuat Bima merogoh saku celananya dan melihat sebuah foto yang diyakininya sebagai Narendra, Ayah dari istrinya, Sinta.
Berbagai info tertulis disana, bahwa sosok Ayah dari Sinta itu bukan orang sembarangan. Pembisnis yang cukup disegani banyak orang karena ia menikahi seorang perempuan keturunan ningrat yang sekarang menjabat sebagai kepala sekolah salah satu sekolah menengah atas swasta. Tidak dipungkiri jika nama baik pria itulah yang akan diperhitungkan saat Bima akan membalas kejahatannya.
"Menunggu Tuhan membalas, aku rasa itu akan lama. Lebih baik aku yang akan melakukannya."
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Mengutuk Waktu ✔ (Tamat Karyakarsa-KBM)
General FictionKetika hadirmu tak dihargai orang. Dan waktu seolah berpihak ke orang lain.