1. Gusto Armonia Caffe

5 0 0
                                    

Langit jingga telah menyebar. Pemandangan kota yang padat penuh orang-orang berhamburan. Kendaraan-kendaraan berseliweran. Pada pinggir jalan, tepatnya trotoar, seorang wanita muda melenggang dengan kebisuan. Tangan kirinya menjinjing tas kecil warna coklat tua. Tangan kanannya yang bebas membenarkan anak rambutnya yang tergerai menutupi matanya. Suasana sore ini memang agak berangin.

Cukup lama ia berjalan, langkah kakinya berhenti pada sebuah bangunan yang terbilang klasik. Suasananya yang kebarat-baratan terasa memberi angin segar. Bangunan itu bertengger di pinggir jalan dan mengarah ke jalanan besar di depannya. Tertera lampu besar di atasnya dengan tulisan Gusto Armonia Caffe. Benar, itulah nama bangunan klasik tersebut. Tempatnya berjejer dengan bangunan lain di sampingnya, tetapi pesonanya itu dapat dilihat siapa saja yang melihatnya. Rasanya seperti di luar negeri, jika kita tidak ingat di mana ini—Indonesia.

Wanita itu menghirup udara dan mengembuskannya dengan mantap. Lalu langkahnya memasuki kafe tersebut. Suasana di dalam kafe terlihat sepi. Pencahayaannya cukup redup, dan hangat. Wanita itu memasuki sebuah ruangan yang pintunya agak terbuka. Di dalam, banyak wanita yang juga sudah ada di sana. Salah satu wanita itu datang menghampirinya.

"Kamu baru datang?"

"Huum," jawabnya singkat.

"Cepat ganti bajumu. Sebentar lagi kita akan beroperasi," tutur wanita itu yang tak lain adalah temannya.

Wanita itu hanya menganggukkan kepala dan berjalan ke arah loker. Diambilnya kunci kecil dari dalam tasnya, dan membuka salah satu pintu loker itu. Ia segera mengambil seragamnya, dan meletakkan tasnya dan bajunya di dalam loker. Setelah berganti pakaian, ia melihat pantulan dirinya di cermin. Ia memoles wajahnya dengan beberapa kosmetik agar terlihat lebih segar. Bibir yang tadinya agak pucat, kini sudah berwarna. Ia juga menyemprotkan sedikit minyak wangi ke tubuhnya. Setelah itu, ia kembali merapikan penampilannya.

DJ mulai memutar musik di dalam kafe. Lampu yang redup ditambah terpaan sinar warna kuning keemasan memberikan sensasi hangat, dan mewah. Di lounge bar, bartender sedang meracik minuman untuk para pelanggan yang datang. Suasana malam ini sangat ramai seperti biasanya. Wanita itu sudah bekerja sedari tadi. Mengantar makanan, dan minuman untuk pelanggan.

Kafe itu sebenarnya terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah bar, dan bagian kedua adalah restoran mewah. Namun malam ini, wanita cantik itu kedapatan jadwal di bagian bar. Ia melayani pelanggan dengan sopan. Meskipun sorot matanya agak kosong. Mungkin saja, wanita itu cukup lelah.

"Na!" panggil seorang pria paruh baya dari meja bartender. Efek musik yang terlalu keras membuat pemilik kafe itu memanggilnya dengan cukup lantang.

Wanita itu datang dengan agak terburu-buru, tak ingin bosnya menunggu lama. Ia diberi instruksi untuk melayani tamu di meja paling ujung. Di sana terlihat tiga orang pria dewasa dan beberapa wanita di sana. Wanita itu mengangguk patuh.

"Selamat malam, Tuan-Tuan. Ada yang ingin dipesan?" ucap Raina dengan sopan.

Meskipun ia sebenarnya agak jijik saat melihat salah satu tamunya sedang bercumbu dengan pasangannya. Wanita itu menyangka kalau wanita itu pasti hanya wanita bayaran.

"Sajikan kami wine yang paling mahal yang kalian punya," ucap salah satu tamu pria dengan sopan.

Wanita itu mengangguk patuh, dan kembali dengan membawa nampan yang berisi pesanan para tamunya itu. Ia menyajikan gelas, dan tak lupa menuangkan wine pada masing-masing gelas tersebut. Saat menuangkan minuman di gelas terakhir, sebuah tangan menyentuh punggung tangannya. Wanita itu kaget, dan tak sengaja menumpahkan gelas yang berisi wine ke celana pria kurang ajar itu. Wanita di sampingnya itu pun juga langsung sebal.

"Lihat nih, beb, rokku jadi kotor begini," rengek wanita itu.

"Ma maaf Tuan, dan Nyonya. Saya tidak bermaksud—"

"Lalu apa maksudmu?" giliran si pria yang protes.

Wanita yang tadi duduk di samping pria itu pun kini berdiri.

"Kalau tidak bisa melayani, tidak usah kerja. Tidak becus!" maki wanita itu sembari menyiramkan wine pada bajunya.

"Maaf, Nyonya."

Pemilik kafe tersebut datang, dan buru-buru minta maaf pada tamunya itu. Ia menatap karyawannya yang tertunduk. Kemudian pemilik kafe itu menyesal, dan meminta maaf kembali atas peristiwa yang tidak menyenangkan itu. Ia bahkan tak segan memberi sebotol wine terbaik untuk mengganti rugi pada tamunya itu. Wanita itu langsung menatap bosnya.

"Tapi, Bos!"

Pemilik kafe tersebut menggelengkan kepalanya memberi isyarat supaya karyawannya tidak meneruskan lagi.

"Tapi apa, huh? Kamu yang membuat masalah dengan kami, tentu bos kalian harus menanggung kesalahan kamu, kan?" ucap pria itu.

"Tapi Tuan, jika bukan karena sikap Anda yang—"

"Ada yang salah dengan sikap saya, huh?" Pria itu seakan mengejek wanita tersebut.

Ketika ia ingin membalas, bosnya langsung menahan tangannya.

"Sudah, Kaf. Lebih baik kita kembali menikmati suasana malam ini. Toh mereka sudah memberi kompensasi kepada kita. Sudahlah, lupakan itu. Kapan lagi kita bisa ngumpul bertiga begini? Besok kamu pasti sudah mulai sibuk lagi," ujar temannya melerai.

Pria itu pun melenggang pergi ke toilet untuk membersihkan pakaiannya. Wanita dan bosnya pun undur diri.

"Ke mari, ikut saya."

Wanita itu mengikuti bosnya. Ia sudah menebak akan dimarahi oleh bosnya itu..

"Raina, kamu malam ini kenapa? Tidak biasanya kamu melakukan kesalahan seperti itu."

"Maaf, Bos. Tapi ini bukan salah saya, jika saya pria itu tidak memegang tangan saya secara tiba-tiba, pasti—"

"Ah, sudahlah. Saya tahu, apa yang ingin kamu katakan. Lagi pula hanya memegang tangan saja masa kamu kaget begitu. Memangnya kamu tidak pernah bersentuhan sama pacar kamu apa?" tanya bosnya.

Raina hanya diam saja. Ia tak berani menyangkal atau menjawabnya.

"Sudah, sudah. Saya tidak akan memecatmu karena mengingat kinerja kamu untuk kafe ini. Namun, saya tetap akan memotong gaji kamu untuk mengganti kerugian itu, oke? Kalau begitu, cepat bersihkan dirimu, dan lanjut bekerja."

Raina hanya mengangguk patuh. Ia berjalan ke dalam toilet. Mood-nya menjadi jelek. ia berdiri di depan wastafel dan membersihkan pakaiannya sembari merutuki tamunya itu di dalam toilet.

"Sial! Kalau bukan karena pria kurang ajar itu, gajiku tidak akan dipotong!"

"Awas saja kalau ketemu pria kurang ajar itu lagi! Akan kubuat dia tidak bisa berjalan supaya tidak bisa mempermainkan wanita lagi, huh!" ucapnya berapi-api.

Sebuah pintu toilet terbuka tepat di belakang Raina. Gadis itu langsung menatap cermin wastafel di hadapannya. Matanya kemudian membulat sempurna.

Seorang pria dengan setelan jaket kulit gelapnya itu sedang menatap horor ke arah Raina. Pria itu mendekat ke arahnya. Raina tidak berani berbalik. Ia merutuki dirinya karena telah berbicara asal di sembarang tempat.

Pria itu semakin mendekat. Bahkan napasnya menerpa telinga Raina, dan membuat bulu kuduknya merinding.

"Apakah kau baru saja merencanakan sesuatu yang buruk terhadapku, Nona?"

Wanita Karier dan PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang