6. Minuman Hangat

6.9K 751 16
                                    

Hari pertama Fasya magang berlangsung cukup padat. Mungkin ini karena dia belum terbiasa dengan kehidupan seorang pekerja. Selama ini Fasya dibuat terlena dengan kehidupan mahasiswa yang terkesan santai. Bahkan dia bisa mengerjakan tugasnya dengan rebahan. Berbeda saat dia magang, dia harus bekerja dengan fokus.

Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar dari ruang tengah. Sengaja Fasya memilih untuk makan malam di sana karena tidak terbiasa makan di meja makan. Apalagi meja makan di rumah Adnan berukuran cukup besar karena berisi sepuluh kursi.

"Bibi nggak makan?" tanya Fasya pada Bibi Sari yang duduk di sampingnya sambil mengupas buah. Namun matanya fokus pada televisi yang menambilkan sinetron kesukaan para ibu-ibu.

"Nanti aja, Mbak."

"Nggak laper?" tanya Fasya lagi karena mulai jenuh.

"Saya kalau makan biasanya malem sama suami Bibi nanti."

Fasya mengangguk mengerti. Dia lupa jika Bibi Sari tinggal bersama suaminya di rumah ini.

"Udah jam 7, biasanya Mas Adnan pulang jam berapa, Bik?"

"Biasanya pulang jam 5-an kok, Mbak. Mungkin lagi lembur."

Fasya mengangguk dan mencibir dalam hati. Ternyata pria itu benar-benar menghindarinya. Tidak masalah, Fasya lebih nyaman jika tidak melihat wajah pria itu. Jujur saja tidak ada yang berubah sejak pernikahan terjadi. Yang berbeda hanyalah baik Fasya dan Adnan harus hidup bersama. Untuk masalah rumah tangga, mereka sudah sepakat untuk tidak saling mengusik satu sama lain.

"Kenapa, Mbak? Mbak Fasya kangen Bapak ya?" Tiba-tiba Bibi Sari menyenggol bahu Fasya, bermaksud menggodanya.

"Kangen? Sama batu ginjal? Najis!" batin Fasya kembali merutuk.

"Mungkin karena kemarin sibuk sama Kakek Faris, Mbak. Makanya kerjaan numpuk terus lembur deh."

Fasya hanya bisa tersenyum paksa. Tidak mungkin dia menolak mentah-mentah godaan Bibi Sari. Yang wanita itu tahu, dia dan Adnan adalah sepasang suami-istri.

"Kenapa nggak ditelpon aja, Mbak?"

Fasya dengan cepat menggeleng. Tentu dia tidak akan mau menghubungi Adnan. Apalagi dengan alasan konyol seperti itu. Lagipula niat Fasya bertanya adalah agar dia bisa mengira-ngira kapan waktu yang tepat untuk tidak bertatapan langsung dengan Adnan.

Suara langkah sepatu yang mendekat membuat Fasya dan Bibi Sari menoleh. Tak lama Adnan muncul sambil melepas dasi yang melingkar di lehernya. Raut wajahnya terlihat begitu lelah, tetapi bagi Fasya wajah itu sama dinginnya seperti biasa.

"Panjang umur, Pak." Bibi Sari tiba-tiba berbicara, "Baru aja diomongin tadi."

Adnan berhenti melangkah dan mengangkat sebelah alisnya, bermaksud untuk bertanya.

"Tadi Mbak Fasya kangen katanya."

Mata Fasya membulat mendengar itu. Dia mengumpat dalam hati karena kesal. Sejak kapan dia berkata seperti itu? Sepertinya dia harus berhati-hati dengan Bibi Sari karena wanita itu sama seperti ibu-ibu pada umumnya.

Fasya hanya bisa tersenyum paksa saat Adnan menatapnya bingung. Dia menggeleng dengan pelan, berusaha membuat Adnan mengerti jika semua ucapan Bibi Sari adalah kebohongan. Dia tidak mau membuat seorang Adnan merasa besar kepala.

"Saya ke atas dulu," ucap Adnan pada akhirnya.

"Nggak mau makan dulu, Pak? Saya siapin ya?" Bibi Sari mulai berdiri.

"Nggak usah, saya sudah makan."

Setelah itu, Adnan benar-benar berlalu menaiki tangga. Fasya kembali berbalik dan lagi-lagi menggerutu. Entah kenapa melihat Adnan selalu membuatnya kesal. Bahkan makanan yang terasa lezat tadi mendadak tersasa hambar.

Mendadak Sah (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang