~Entah bagaimana caranya
Andai keping rindu ini ingin kembali bertamu
Saat hati yang kutuju ternyata mulai lupa caranya menunggu~Part 1
Perang yang lebih dahsyat dari perang bharatayuda sepertinya akan pecah di antara kami.
"Jadi ini wajah poligami keluarga kita?"
"Maksud Umi?"
"Abi mau tetep pergi, kan? Ngutamain permintaan dia daripada Umi." Aku mendongak. Memburunya dengan tatapan tajam.
"Faqih butuh Abi, Mi. Dia, ..."
"Faqih atau ibunya?"
"Mi, ..."
"Abi berubah!"
"Faqih sakit, Mi. Abi gak tega nolak."
"Yakin cuma karena itu?"
Laki-laki tak berperasaan itu mengangguk.
"Abi lupa ini baru malam ke berapa?" Aku mendesah. "Apa Abi lupa jatah kami masing-masing harusnya berapa lama?"
Dia diam, kepalanya menunduk. Namun, aku tidak percaya kalau dia tengah merasa salah.
Suasana di langit-langit hatiku begitu terasa kelu. Ada riak-riak kesal mengentak, ada bulir-bulir sesal mengalir tak henti pun ada gelegak murka yang kian tak tertahan.
"Kenapa gak jawab, Bi? Gak mungkin kan kalau Umi salah hitung?" Aku bangkit lalu berjalan berputar-putar di dekatnya. "Ah, ya. Umi bukan salah hitung kayaknya. Tapi salah memperkirakan."
"Umi ngomong apa?" Mulutnya membalas dengan suara kencang.
Refleks, aku menoleh karena kaget. "Abi teriak? Sejak kapan Abi suka teriakin Umi? Umi gak tuli, Bi."
"Ya, abisnya, ..."
"Abisnya Umi gak bisa ngertiin, iya? Gak mau bantu suaminya beramal salih? Atau Abi pikir, Umi lebih suka liat suaminya berjalan pincang di alam akhirat nanti karena Abi gak adil sama kami?"
"Siapa bilang Abi gak adil?"
Aku bungkam. Terkuras sekali energiku melayaninya. Berkelit terus tiada henti.
Seolah tak sabar, panggilan di ponselnya datang lagi.
Rupanya perempuan itu benar-benar ingin mengambil malam kebersamaan kami detik ini juga.
"Mi, ..." Kang Zayyin kembali memohon.
Membuatku ingin melolong karena saking tak berdayanya.
Membuatku seakan-akan jadi orang jahat jika tak mengabulkan keinginannya.
"Pergi aja, Bi. Pergi!"
Semenit, dua menit, kami sama-sama saling mengunci mulut.
Kemudian dengan air mata yang mulai berlinang, aku tidur menelungkup membenamkan wajah di bantal.
Aku masih bisa menoleransinya jika hanya diduakan. Jika ia berat sebelah?
"Mi, ...."
Aku tak meresponnya.
"Mi, jangan kayak anak kecil, lah. Abi jadi nggak enak hati. Bukannya keadaan berubah jadi seperti ini juga karena keputusan Umi yang gegabah?"
Alih-alih mendengarkan ucapannya aku malah melamunkan kejadian di kamar ini, usai Isya tadi.
"Mi, badan Umi baunya masih enak, ya. Serius. Masih tetep kayak gadis dulu."
"Ah, Abi." Aku menyembunyikan muka di dadanya, menutupi malu yang mendera.
Kami baru saja menikmati lagi manisnya madu rumahtangga. Melupakan nganga luka yang kemarin ada.
"Bener. Abi gak bohong." Tangannya kini menjelajahi kulit di pipi. Membuatku terhipnotis. "Pokoknya buat Abi, Umi itu surga dunianya Abi."
Perempuan mana yang tak suka dipuji. Asa pun kian melambung tinggi, terbawa oleh perasaan sukacitanya seorang istri yang dipuja habis-habisan oleh sang nakhoda kapalnya.
Sampai ia lupa, kalau garis hidup seseorang jatuh-bangunnya tak bisa disangka-sangka.
"Eh, Abi ke air bentar, ya. Kebelet."
Aku mengangguk dan melepas tangannya. Karena haus, aku pun ikut-ikutan turun dari ranjang dan mengambil minum yang tak jauh dari sana.
Saat kembali, aku melihat ponsel Kang Zayyin terselip di bawah bantal. Aku mengambilnya dan berniat menyimpannya di tempat lain. Itu bukan barang murah jadi sayang kalau rusak ketindih tubuhku atau tubuh kami.
Tak kusangka, notifikasi pesan terus berdatangan.
Aku kaget dan body ponselnya memang licin. Hingga tak sengaja tanganku malah menjawab sebuah panggilan sebelum akhirnya menjatuhkan benda itu ke kasur.
Untuk sejenak aku bimbang. Apa salah kalau aku mengangkat panggilan itu?
Aku takut itu penting. Tanpa buruk sangka, aku pun meluluskan niatku semula.
Usai kutempelkan ponselnya di telinga, seseorang langsung bicara.
"Yank, Halo! Tadi bilangnya udah mau OTW.
Kenapa malah pesanku gak dibales lagi? Kamu kan kemarin udah janji gak lama-lama di sananya. Katanya cuma aku yang bisa bikin kamu seharian terus dihadang rindu. Pokoknya, cepet, ya! Faqih juga butuh kamu. Dia beneran sakit, tau.""Kang Zayyinnya lagi di kamar mandi, Teh." Aku sengaja langsung menjawab, kuatir ia semakin banyak berkata-kata.
Sesuatu yang sudah pasti akan sanggup mengoyak-ngoyak ruang di dadaku.
"Eh, i-ini Marwah? Oh, ya, udah. Kasih tau aja dianya." Ia tergagap. Bahkan lupa juga mengucapkan salam saat mengakhiri sambungannya.
Aku mematung. Cermin yang ada di depan, malah seakan-akan memantulkan foto diri yang mulai dihantam badai putus asa.
Aku nyaris tak punya nafsu lagi untuk naik ke atas ranjang. Meski tadi sang nakhoda kapal sudah mewanti-wanti agar aku menemaninya berlayar lagi.
Pembicaraan barusan meski singkat tetapi sudah cukup membuka tabir yang selama ini tertutupi. Kang Zayyin hanya pura-pura saja berlaku penuh cinta di depanku.
Sebab nyatanya di belakang, ia malah menjanjikan hal lain pada perempuan itu. Menjanjikan waktu yang sejatinya sudah jadi milikku jadi milik istri keduanya.
🌹🌹🌹
Bismillah, selamat datang di karya saya teman-teman.
Dan untuk pembaca lama saya, saya haturkan terimakasih banyak-banyak karena sudah berkenan untuk sabar lebih luas menunggu tulisan ini rampung.
Insya Allah, karena buku ini sudah melalui tahapan self editing lagi (semingguan ini) jadi udah jauh lebih baik tulisannya, no typo-typo club, ya.
Juga ada beberapa part yang jumkatnya disesuaikan.
Beda dengan pas awal meluncur, pokoknya.
Harapannya teman-teman bisa makin betah, isinya juga makin mudah dipahami.
Makasih ... With Love, Sahara.