~Aku selalu mencarimu diam-diam
Di sudut-sudut kamar kita
Di setiap sisi ranjang tempat kita menyemai cinta berbingkai samawaBahkan mencarimu hingga ke balik bantal yang sering kita pakai untuk berbagi kepala
Tetapi yang kutemukan hanyalah segaris senyuman lama
Yang kau suguhkan saat pamitmu malam itu yang bagai tanpa kata~Part 2
Luruh sudah kebahagiaanku yang bermenit-menit tadi memeluk diri. Berganti dengan nganga nestapa yang paling sengsara.
Tanpa pikir panjang, aku membuka baju seksi yang sengaja kupakai khusus untuk menyambut laki-laki itu, dengan pelan.
Airmataku merebak. Meski berulangkali kuusap, air yang rasanya asin itu terus saja berjatuhan.
Tak lama, orang yang kupikirkan muncul. Ia berdiri di depan cermin yang sama, menyisir janggutnya dengan jari-jari tangan. Seyumnya terus rekah di dua bibirnya yang tadi masih milikku.
"Ada telepon, Bi. Dari Teh Wike." Aku berucap acuh. Bahkan dengan mengayun-ayun dua kakiku dari bibir ranjang. "Umi gak sengaja jawab tadi. Ponselnya mau dipindahin tapi jatuh. Jadi Umi benerin. Malah kepijit."
"Iya. Abi telepon dulu kalau gitu." Ia pun menyingkir. Lenyap sudah bujuk rayunya yang tadi.
Apa memang hanya sepelemparan batu saja jarak perasaannya padaku?
"Hallo! Iya, iya, Bu. Abi bentar lagi ke sana. Sabar, ya."
Suara Kang Zayyin yang berbicara dengan nada kuatir di telepon, bagai menamparku.
Laki-laki itu hanya peduli pada perasaan perempuan di seberang sana. Bukan padaku yang jelas-jelas tadi dipujinya sampai langit ke tujuh.
Tak lama, dia menoleh. Matanya seakan penuh kata-kata, memohon pengertianku.
"Abi boleh pergi, Mi?"
Aku hanya diam, tak tahu harus merespon dengan cara apa.
"Faqih sakit, Mi. Terus Wike dia gak biasa handle sendirian. Dia kan gak kayak kamu yang rajin tanya-tanya makanya sukses besarin si Nay sendiri. Wike, ..."
"Dah, Bi. Stop! Umi gak mau denger."
"Mi, please!"
"Umi, ..." Usapan laki-laki itu di tangan seakan menarikku dengan kilat dari lamunan.
"Oh, iya. Tadi apa yang Abi bilang? Umi gegabah?" Aku memejam, sekuat mungkin menahan untuk tidak berteriak. "Kenapa keputusan Umi terus yang dibahas. Yang salah di sini kan langkah Abi."
"Ya gak bisa. Akar utamanya memang di situ."
"Udahlah, Bi. Apa pun yang orang lain bilang kalau memang pada dasarnya Abi tengah dibutakan ya buta saja."
"Abi buta karena apa? Abi gak ngerti. Karena apa, Mi?" Mulai sedikit terpancing, laki-laki yang sudah bertampang kusut itu kembali bicara dengan nada tinggi.
"Karena cinta, Bi. Iya, kan?" balasku dengan suara yang parau.
"Nggak. Abi nggak mungkin bisa ngekhianatin Umi. Abi lebih banyak di sana hanya sebatas tanggung jawab aja! Gak lebih."
"Really?" Lalu dengan sinis, tawaku berderai terpatah-patah. Kini posisiku duduk di bibir kasur dengan tangan menyilang di dada.
"Istighfar, Mi!"
"Abi yang harusnya lakuin itu!"
Hening sesi kedua pun datang.
"Abi jangan cemasin Umi lagi, oke! Isi kepala Umi masih cukup waras, iman juga masih tetep ada. Mungkin Abi butuh waktu lebih untuk menyendiri. Untuk merenungi balik serta bermuhasabah." Berusaha tenang aku pun bicara seraya berjalan menjauhinya. "Merenungi kenapa keluarga kita jadi semrawut begini rupa. Padahal, niatan Umi di awal itu baik."
Kang Zayyin diam. Entah mengerti atau pura-pura mengerti.
Aku pun meneruskan lagi ucapanku. "Umi hanya ingin perempuan lain yang kesulitan mendapatkan jodoh bisa merasakan indahnya berumah tangga. Tapi tidak dengan merenggut semua yang pernah kita miliki, Bi. Hal terindah, kita."
"Mi! Wike nggak merebut apa pun dari Umi. Wike hanya mendapatkan apa yang selayaknya dia dapatkan."
Tanganku gemetar.
Mendengar hal itu, rasa nyeri bagai enggan permisi dulu. Ia mendesak-desak masuk ke dalam sanubari serta mulai mengaburkan nyaris semua akal budi yang selama ini senantiasa kupelihara.
"Boleh Umi nanya?" tanyaku dengan menahan segumpal geram. Aku bahkan kembali duduk, karena merasa tak kuat lagi dan nyaris saja ambruk.
"Iya."
"Apa sekarang perasaan Abi ke Umi masih sama seperti dulu? Seperti sebelum perempuan itu hadir atau hanya rasa sebal saja yang mendominasi?"
Alih-alih menjawab, Kang Zayyin malah mendekat dan duduk menyimpuh di pangkuanku.
Entah berapa lama kebekuan hadir lagi. Mungkin jadi pelengkap terakhir dari sesi pertengkaran kami.
Sampai suara notifikasi pesan kembali melengking bagai membangunkan Kang Zayyin dari tidur panjangnya.
"Mi, A-Abi, ...."
"Ya udah. Pergi aja! Doakan Umi kuat, doakan Umi sama Nay tetap memiliki prasangka baik sama Abi."
Mata kami beradu.
Jika saat kami mengayuh sampan tadi aku masih bisa menemukan cinta yang khusus untukku pada dua matanya, kini seakan tidak lagi.
Tatapannya datar. Sedatar kata-kata yang ia ucapkan di detik berikutnya. "Abi pamit."
Aku mengangguk. Bukankah hanya itu yang mampu kulakukan?
Dia pun berlalu setelah mencium dahiku sekilas. Ya. Sekilas saja tak lebih.