~Allah tidak akan pernah mengambil cinta Abimu, Nak
Dia hanya tengah membiarkan Abimu belajar dari ketidaktahuan serta kekhilafannya sebagai hamba~
Part 5
"A-apa Nay?" Aku gugup. Pertanyaan sederhana tetapi jauh dari yang kupikirkan.
"Umi kenapa melamun? Pasti nggak dengerin Nay, kan?"
"Denger, kok. Umi denger."
"Coba jawab."
"Duh, anak Umi jangan galak-galak. Kan, kasian Uminya yang udah tua," balasku berusaha menggodanya.
"Tuaan Ibulah daripada Umi!"
"Tuh, kan. Malah jadi ketus sekarang. Ayo, Umi maunya ngobrol sama Nay yang kalem, Nay yang baik hati dan murah senyum."
"Nay yang cantik juga dong, Miii." Kanaya kini turun dari kasurnya dan tidur di pahaku.
"Pasti, itu. Kanaya gadis tercantik di hati Umi. Cantik luar dalam."
"Amiin."
"Tadi ada yang bikin kesel di sekolah?" Sambil kuusap lembut helai demi helai dari rambutnya yang tebal, kepalaku jadi teringat awal aku membuka hijab di depan abinya Kanaya.
Setelah selesai magrib saat itu, abinya Kanaya pulang dari masjid lalu menemuiku di kamar. Ia cukup kaget saat dilihatnya aku masih mengenakan pakaian rapi dengan kerudung langsungan sedada.
"Neng, kenapa masih dipake kerudungnya? Kamu nggak gerah?" tanyanya saat itu. "Sini, duduknya lebih deket."
"Iya, A."
"Jangan bilang mau tidur pakai kerudung." Ia terkekeh. Suaranya yang di mataku terdengar renyah, malah membuyarkan segenap keberanian yang sejak awal sudah kukumpulkan.
"Nggak. Neng cuma ingin dibuka sama tangan Aa sendiri." Aku bicara dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Yakin?" Kini senyum tipis tercetak di wajahnya yang rupawan.
"Iya. Itu sebenernya mimpi sejak lama. Bahwa orang yang akan membuka hijabku untuk pertama kali adalah suamiku." Usai mengucapkannya, hati menjadi deg-degan tak menentu.
Maklum, sebelum menikah kami hanya bertemu tiga kali. Sehingga duduk seperti itu saja sudah membuat pori-poriku mengalirkan keringat dingin dan sedikit hilang konsentrasi.
"Terima kasih, Neng. Terima kasih sekali sudah hadir dan menjadikan Aa seorang laki-laki yang beruntung mempersuntingmu," tuturnya lembut.
"Mi, Mi." Dengan keras, kanaya mengungcang lenganku.
"Eh, ya, Nay?"
"Umi ngelamun lagi, ah. Nggak seru!"
"I-iya. Maaf. Umi nggak sengaja." Aku deg-degan kuatir dia bisa menebak lamunanku barusan. Bukankah anak zaman sekarang katanya pintar-pintar? "Jadi kenapa, Nay? Hal apa yang bikin kamu terganggu?"
"Temen ngejekin aku gara-gara Ibu."
"Kok, Ibu? Memangnya kenapa?" Aku syok. Kenapa firasatku mendadak buruk setelah mendengarnya?
"Iya. Katanya masa aku punya dua ibu. Masa Abiku punya istri dua. Abiku centil katanya, Miii. Kayak di tv-tv. Istrinya banyak."
"Astaghfirullah. Nggak, Nay. Abi nggak kaya gitu." Refleks, aku berujar demikian.
"Terus kenapa Abi nikah sama Ibu? Kenapa aku harus punya adik dari Ibu, nggak dari Umi aja?"
"Sayang, i-itu, ...."
"Umi juga nggak bisa jawab, kan? Nggak bisa jelasin, kan? Apalagi Nay!" Dengan berurai air mata, Kanaya berlari ke luar kamar.
Saat kuikuti, langkah gadis kecil itu berhenti di kamarku dan membuka pintunya.
"Mana Abi?" tanyanya dengan suara yang mengandung kemarahan.
"Abi ke rumah Ibu, Nay."
"Tuh, kan. Sampai untuk pergi aja Abi dah nggak butuh lagi pamit sama Nay."
"Bukan gitu. Kemarin saat Abi mau pergi, Nay kan lagi di rumah Vivi. Abi bilang kok, ke Umi. Dan minta tolong sampaikan maaf Abi sama Nay."
"Bohong!"
"Nggak. Umi kapan sengaja bohong sama Nay?"
Dia diam. Aku tahu anak remaja itu tengah melawan emosinya yang bergulung-gulung.
"Nay marah ke Umi?"
Gelengan kepalanya yang halus membuatku sedikit tenang. "Maafin, Abi, ya. Maafin, Umi juga."
"Iya, Nay percaya. Umi nggak pernah bohong." Kemudian Kanaya melewatiku dan kembali memasuki kamarnya. "Met malam, Mi. Nay bobo dulu."
"Selamat malam, Sayang." Aku menjawab dengan menahan tangis.
Andai kamu tahu, Nak. Betapa hati ibumu pun merasa hancur berkeping dengan kenyataan ini. Kenyataan bahwa sejatinya laki-laki yang dianggap bisa dipercaya malah menghancurkan semuanya.
***
Magrib hampir saja tiba, saat mobil Kang Zayyin memasuki pekarangan.
"Assalamualaikum, Nay, ngaji?" tanyanya begitu ia melewatiku.
Kulit mukanya yang bersih terawat dan bercambang tipis, cukup membuat debar di dadaku perlahan hadir dan mulai memainkan genderang asanya sendiri.
Ah, rasanya memang sudah cukup lama aku tak lagi merasakan ini terhadapnya.
"Iya, Bi." Kujawab pelan dengan menyalaminya seperti biasa. Lembut dan khidmat.
"Yah, gagal. Padahal Abi kangen banget, Mi."
"Memangnya cuma Abi yang kangen? Nay juga sama atuh."
Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin sekali menumpahkan kekesalan di hati Kanaya pada laki-laki itu.
Namun, alih-alih membalas ucapanku Kang Zayyin rupanya memilih diam. Bahkan saat mataku kuarahkan padanya, laki-laki itu sudah tenggelam dengan ponselnya.
Selalu saja begitu.
***
"Mi, Si Nay, kenapa? Abi ajak ngomong diem terus. Abi masuk ke kamar pun pintunya dia kunci."
Malam-malam, saat tubuhku penat dan ingin sekali merebahkan diri, Kang Zayyin mengeluarkan uneg-unegnya tentang putri kesayangannya itu.
"Gimana kabarnya, Faqih?"
"Abi nanyain Kanaya, Mi. Jangan ubah fokus," sentaknya.
"Pengen tau aja. Sekalian pengen doain kalau emang masih sakit."
"Nggak. Udah sehat sekarang."
"Alhamdulillah. Syukurlah kalau gitu," ucapku berusaha tulus.
"Jawab yang tadi, Mi."
"Tentang Nay?"
