9

160 5 1
                                    

Part 9

Masalahnya, mereka masih memegang mitos bahwa saat dilangkahi, anak tertua akan semakin sulit mendapatkan jodoh. Praktis, saat Teh Wike sama sekali belum ada yang mau, maka Teh Maya yaitu adiknya pun nggak punya kesempatan.

Itulah yang membuatku kadang begitu sesak memikirkan keduanya. Hidup tanpa orang tua, suami pun belum punya. Mungkin hanya kasih sayang Allahlah yang membuat adik kakak itu bertahan hidup di tengah segala keterbatasannya.

"Ngelamun aja, ini, teh. Gimana kabar di Bandung pada sehat?" Teh Wike, orang yang tengah kulamunkan menyapaku saat aku berdiri mematung di pinggir kolam miliknya. Aku memang sengaja jalan-jalan di sekitar rumah usai makan nasi liwet tadi, demi membuang bosan.

Saat bertemu denganku, perempuan dengan lesung pipit itu tengah memakai daster panjang harian tetapi di mataku ia terlihat begitu segar.

Duhai, para lelaki. Di manakah kalian semua? Tak adakah yang mau meminang ranum bunga tak tersentuh ini?

"Alhamdulillah, pada sehat, Teh. Mungkin kalau nggak sibuk Kang Zayyin juga ikut."

"Nggak apa-apa. Mumpung masih muda. Sibuk juga kan jelas tujuannya apa."

"Iya Teh, alhamdullilah," balasku dengan senyum termanis, "Teteh masih suka ngajar anak-anak ngaji?"

"Ya, kalau ada yang datang mah diterima aja. Namanya ilmu kan sayang kalau nggak dimanfaatin."

"Betul, Teh. Aku setuju."

Angin sore yang menyapu lembut, menguarkan wangi harum shampo dari rambut Teh Wike.

Tak lama, kami pun sama-sama masuk rumah karena Kanaya mencariku.

Menjelang magrib, akhirnya abah memutuskan untuk pulang. Saat sampai mobil, Kanaya langsung saja terlelap. Sepertinya anak itu lelah karena seharian sibuk ke sana kemari mengekori kakeknya tiada henti.

***

"Mak, Teh Wike itu baik banget, kan, orangnya?" Aku sengaja memilih topik ini saat posisi kami hanya berdua. Kami tengah menyiapkan makan siang, sementara abah sudah ke sawah dengan mengajak serta Kanaya.

"Iya. Tulus dan gak banyak omong pula. Mak suka kasian kalau liat orang baik tapi nasibnya belum baik, teh."

"Ya Allah, Mak. Nasibnya nggak baik gimana? Emak, nih, suka ngasal!" Bibirku mengerucut.

"Bukan ngasal tapi kenyataan. Wike masih belum nikah, Maya apalagi. Gak kebayang rasanya seperti apa. Perempuan itu kodratnya kan memang dipimpin. Lho, kalau nggak punya suami siapa yang mesti mimpin?"

Emak benar. Lalu kenapa aku merasa hatiku seperti membisikkan sesuatu?

"Mak, sebenarnya nggak ada laki-laki yang mau, nggak ada yang melamar atau memang nggak ada kesempatan untuk Teh Wike melihat laki-laki yang ada di luar kampung?"

"Serba salah memang. Saat ada yang mau, Wikenya nggak mau." Emak malah menggerutu.

"Alasan Teh Wike nggak mau kenapa katanya, Mak?"

"Banyak. Salah satunya agamanya. Wike itu kan anak ulama. Paham dan tahu banyak hal. Mungkin saat mendapatkan pinangan lelaki biasa jadi takut gak bisa hormat."

"Nggak bisa hormat gimana maksud, Emak? Justru karena Teh Wike agamanya bagus, harusnya kan tau harus seperti apa bersikap sama suami."

"Ya, kamu nggak bakal ngerti. Namanya orang, kadang-kadang semakin berilmu semakin susah untuk menerima kekurangan orang lain apalagi sanggup bersifat tunduk. Sementara sama suami, tunduk itu adalah kewajiban. Bukan hanya pilihan. Wike benar. Daripada seumur hidup menanggung beban karena tidak bisa memposisikan suami selayak suami yang seharusnya, ya, mending nggak."

"Aku bingung, Mak."

"Sederhananya gini. Kamu misalnya anak kuliahan, punya gelar berderet-deret. Mau punya suami gak bisa baca?" Emak menatapku.

"A-apa?"

"Lah, iya. Mau, gak?" Kejarnya lagi.

"Nggak tau, deh, Mak. Tapi kayaknya susah. Gengsi." Aku menyahut takut-takut.

"Nah, itu paham."

"Jadi ruwet kalau gitu ya, Mak? Emang harusnya tipe laki-laki seperti apa yang pantas bersanding dengan Teh Wike, Mak? Kalau kayak Kang Zayyin pantes, nggak?"

"Izay? Bisa-bisa. Memang harus yang seperti itu kalau untuk Wike. Jadi cocok karena sama-sama pernah ngaji."

"Yah, Emak. Emang sama aku Kang Zayyin nggak cocok?" Aku merengut sebal.

"Tadi kan, kamu nanya jika dilihat dari ilmunya. Ya, Mak, jawab. Bukan dengan orangnya."

"Iya, ya, Mak. Kasian banget Teh Wike."

"Emak tuh, mikirnya sayang sama keturunan mereka. Garis nasab dari Kyai, ulama besar yang begitu dikhidmati banyak orang. Andai Mak punya anak cowok sebelum kamu. Udah Mak tarik ke KUA sama Wike."

"Itu Adnan gimana, Mak?"

"Mana mau si Wike. Anak kecil gitu dan sama-sama gak sesuai ilmunya."

"Eh, iya, ya."

"Mak hanya bisa bantu doa aja. Selama ini Mak tak pernah lelah untuk terus minta sama Allah agar anak itu segera mendapatkan jodohnya. Bagaimana pun caranya."

"Hmmm. Mak? Kalau Teh Wike dilamar Kang Zayyin kira-kira bakal mau nggak ya?"

"Husssh! Ngawur, kamu!" Emak mendelikkan matanya dengan cepat.

"Marwah tiba-tiba kepikiran aja, Mak. Bukan ngawur. Lagian poligami kan disarankan."

"Udah, udah! Mak gak mau denger!"

Tanpa menghiraukanku, Emak langsung menutup pintu dan pergi ke luar. Entah benar-benar gak suka dengan ucapanku atau memang ada keperluan lain yang mengharuskannya pergi.

Apa jangan-jangan menurut beliau aku bakal tak sanggup kalau hidup dimadu?

Aku Selepas DimaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang