Part 7
Sebab suamiku, biasanya saat akan pulang ke rumah, selalu iseng bertanya lagi apa, mau dibawain apa. Bahkan meski istrinya bilang nggak mau apa-apa, sebungkus makanan kecil akan selalu ia bawa.
Tak peduli jika setelahnya sang istri jadi mengomel panjang-pendek karena dianggapnya boros. Yang dipikirkan laki-laki itu hanyalah keinginannya untuk membahagiakan sang istri dengan caranya.
"Itu baksonya dingin, Mi. Kenapa malah melamun?" tegurnya menunjuk mangkuk.
Lalu kupandang wajahnya lekat, menelusuri jejak bahasa cinta kami yang bertahun lalu masih indah bertahta.
Akan tetapi, kini aku mulai ragu untuk bisa menemukannya kembali. Jejak itu memang masih terbaca, masih ada. Hanya saja begitu samar, begitu tak kentara.
Andai aku berani, Kang. Mungkin sudah kuingatkan kamu untuk melakukan lagi semua kebiasaan dulu. Namun untuk apa? Yang kubutuhkan adalah ketulusan bukan semata karena ada permintaan. Tuturku dalam hati.
***
Setahun silam.
Pagi masih disaputi sedikit kabut, saat mobil Kang Zayyin membelah jalanan dengan santai. Hari itu, kami mudik ke rumah Abah bertepatan dengan liburnya Kanaya.
Suasana yang kami temui di jalan, kiri kanannya belum begitu ramai. Kami memang sengaja memilih pergi sebelum subuh, agar tidak terjebak macet terutama di ruas-ruas jalan raya yang sempit atau jalanan yang mendadak diubah rupa menjadi pasar kaget.
"Bi, nanti yang lama ya, di rumahnya nenek," pinta Kanaya seraya asyik menghitung bungkusan kecil yang ia siapkan untuk teman-temannya.
Kanaya memang sudah sejak jauh-jauh hari mengingatkanku untuk membawa oleh-oleh khusus untuk temannya. Dan untuk jenis dari isi kadonya, ditetapkan gadis itu sendiri. Bahkan saking seriusnya, ia rela merogoh tabungannya demi niatannya tersebut.
"Lama gimana, Nay? Abi kan minggu depan juga bisa dateng lagi, Sayang. Yang terpenting sekarang, kalian Abi antar sampai rumah dengan selamat."
"Yaaah. Nay, kan pengennya di kampung itu, jalan-jalannya sama Abi."
"Iya, Nay, iya. Nanti, ya." Kang Zayyin berupaya menyudahi, mungkin karena kuatir terpecah konsentrasinya.
"Kalau kita main ke kampungnya kakek, Nay mau, nggak?" Aku segera mengambil alih pembicaraan agar Nay tidak merusak mood abinya lagi.
"Mau, Mi. Ke mana?" tanyanya antusias.
"Ada, deh. Sekalian Umi mau nengokin sawah yang di sana. Udah lama banget rasanya Umi nggak maen. Boleh, kan, Bi?"
Laki-laki yang duduk anteng di sampingku itu memasang senyum indahnya kemudian mengangguk.
"Horeee! Horeee!"
"Pelanin dikit, suaranya, Nay."
"Hahaha. Biarin aja, Mi. Anakmu lagi seneng itu," ucap Kang Zayyin dengan sorot mata lembut.
Ah, mata itu. Selalu saja mampu meluluhlantakkan segala pertahananku.
Nyaris tak ada kendala berarti yang kami dapati selama di jalan. Hingga dua jam kemudian, rasa penat selama berkendara pun lunas terbayarkan saat pemandangan indah khas alam pedesaan menyapa indera penglihatan kami.
Apalagi setelah melewati pasar di kampungku. Pesona andong yang beriring-iringan dari atau menuju pasar, membuat hati kian menghangat.
Betapa dulu, aku pun pernah menjadikan angkutan itu sarana untukku mencari ilmu. Pulang pergi sekolah dengan menaiki andong, seraya tertawa lepas bersama teman-teman adalah hal-hal yang tak terlupakan dalam ingatanku.
"Alhamdulillah, sampai tepat waktu kita," ucap Kang Zayyin yang hampir saja membuatku kaget. Karena aku keenakan melamun tentu saja.
"Bi, Nay, pergi duluan, ya." Kaki jenjang anak itu sontak berlari-lari seraya menenteng tas kecil miliknya.
"Hati-hati, Nay!" Kang Zayyin mengingatkan Kanaya seraya tangannya mulai sibuk mengeluarkan beberapa tas serta dus yang kami bawa dari bagasi.
"Bi, taro di sini aja sebagian. Biar nanti Adnan bantu bawain." Aku menunjuk ke teras sekolahan, tepat di sisi kanan mobil kami terparkir.
Rumah abah, posisinya persis di belakang gedung sekolah ini. Hanya terhalang bangunan masjid dan sebuah kolam tetangga yang sangat luas.
"Iya, Mi."
Benar saja. Tak lama kemudian, Adnan pun muncul dan menyapa. Sebab waktu di jalan dia sudah kukirimi pesan kalau kami akan datang.
Akhirnya, di sinilah kami sekarang. Bercengkrama hangat dengan keluargaku. Ada abah, emak dan Adnan adikku satu-satunya.
Di sisi lain, lima menit sampai rumah, Kanaya langsung ganti baju dan pamit untuk menemui teman-temannya. Tak lupa, ia pun membawa bungkusan-bungkusan kecil yang tadi.
Anak kecil memang seperti itu, bukan? Riuh dengan hal-hal yang di mata kita terkesan sepele.
Abah yang tadinya sudah berada di sawah, kini larut bersama kebahagiaan kami. Beliau duduk menikmati kudapan kecil yang kubawa dan merupakan makanan yang disukainya.
Sesekali, beliau pun menimpali saat Kang Zayyin memulai obrolan. Sementara aku, disibukkan dengan urusan perempuan bersama emak.
Beberapa oleh-oleh yang kubawa, aku atur dengan meminta pendapat emak. Tentang siapa saja yang patut kami kasih, seberapa banyak dan siapa-siapa yang mungkin akan sangat butuh jika ditambahi sedikit uang di dalam oleh-olehnya.
Begitulah kebiasanku beberapa tahun ini. Hasil usaha Kang Zayyin senantiasa kusisihkan agar bisa berbagi manakala kami pulang. Baik saat pulang ke kampungku atau ke kampung abinya Kanaya.
Sebab sepemahamanku yang namanya berbagi, tak harus menunggu sampai banyak. Berapa pun dan sesanggupnya saja. Poin pentingnya adalah keberkahan dan ikhlas yang terpusat dari lubuk hati.
![](https://img.wattpad.com/cover/313854843-288-k519091.jpg)