3

117 6 0
                                    

~Sebagai seorang istri

yang kupunya hanyalah semacam firasat.

Tapi itu lantas kuabaikan karena ada sabda lain

yang kuartikan melebihi segalanya.

Yakni dorongan untuk menolong sesama

bukan karena bekal ego semata'

Part 3

Ah, laki-laki. Terbuat dari apakah hati kalian. Hingga tak bisa memahami sedikit pun bahasa-bahasa yang disampaikan kaum kami, perempuan yang jadi belahan jiwamu.

Apakah aku terlalu naif jika kubilang bahwa aku cemburu dan merasa tak berharga ketika entah di kali yang ke berapa selalu namanya terus yang ia prioritaskan?

Andai saja kumiliki dua hati atau mungkin dua jiwa, maka tidak mustahil yang satunya lagi akan kuhabisi tanpa ampun. Karena rasa nyeri ini, terlalu banyak mengambil dari apa yang pernah ada dalam diriku.

Jika saja mungkin, betapa aku ingin menyesali semuanya, terutama menyesali mimpiku menjadi perempuan peraih surga. Yakni dengan cara membagi hati suami sendiri.

Pun andai imanku tipis, mungkin jalan kematian sudah sejak kemarin kupilih.

"Please, Mi. Jangan aneh-aneh. Abi nggak minat sama sekali, lho, dengan usulan Umi itu."

"Diniatkan menolong saja, Bi. Insya Allah dipermudah."

"Menolong ada adabnya juga, Mi. Masa dengan menyakiti hati istri? Impossible banget itu!"

"Siapa bilang Umi sakit hati? Ini kan usulan Umi. Jelas udah Umi pikirin baik-baik atuh. Abi harus yakin, kalau istri Abi yang secantik bidadari surga ini, hatinya sudah termanage dengan sangat baik. Insya Allah nggak akan ada yang namanya cemburu atau marah. Justru Umi akan bantu Abi sebaik mungkin untuk bersifat adil."

Dengung ucapan-ucapan kami di masa itu menyeruak berdatangan. Entah ingin memperingatiku atau menertawakan.

Meski orangtua memberiku nama Marwah, orang-orang lebih mengenalku dengan sebutan Umi Nay.

Saat ditakdirkan memiliki suami yang akhlaknya sebaik Kang Zayyin, sebenarnya sedikit pun aku tak bermimpi untuk membaginya dengan perempuan lain.

Apalagi dengan cara aku sendiri yang memilih dan memintanya. Ah, ya, tepatnya bukan meminta, akan tetapi memaksanya.

Hari itu, aku masih sangat ingat.

Dengan raut wajah teduh, Kang Zayyin mengajakku bicara. Entah mungkin karena ia lelah menanggapi ocehanku tentang memintanya menikah lagi atau memang hidayah sudah tiba serta membuka pintu nalarnya.

"Wike itu siapa, Mi? Terus kenapa Umi maksa banget Abi harus nikahin dia?"

Aku mengurai senyum di depan laki-laki yang begitu kucintai itu. "Yakin Abi mau tau?"

Ia mengangguk mantap. "Apa ada satu hal aja yang pantas Abi pertimbangkan tentangnya? Selain hanya karena usianya saja yang terlalu terlambat untuk mendapatkan jodoh dengan cara biasa?"

"Abi gak salah. Memang harusnya Abi tau salah satu penyebab dari kengototan Umi kali ini. Jadi jangan ada kesan apa yang diminta Umi itu hanya buah pikiran yang sifatnya selintas aja. Pikiran orang picik yang nggak ada nilai."

"Abi harap begitu," balasnya datar.

Saat itu aku bahkan ragu apa harus meneruskan lagi obrolan ini atau tidak. Tapi bismillah saja. Niatku baik jadi yang penting aku usaha dulu. Sisanya, aku yakin Allah pasti bantu.

"Bi, Teh Wike itu selain pernah menjadi guru ngajinya Umi, beliau juga masih ada ikatan saudara dengan Umi dari pihak Abah. Ayahnya, salah satu ulama yang begitu disegani di kampung kami. Umi pikir, jika Abi bisa menjadi qawwam untuknya, maka kehadiran keturunan kalian pasti akan sangat dibutuhkan oleh masyarakat." Saking antusiasnya aku bicara, jilbab kusut pun lupa kubenahi. "Keturunan ulama, Bi. Itulah yang paling menggoda hati Umi. Ya menggoda untuk menolong beliau. Eh, bukan menolong mungkin, ya. Tapi saling menolong."

Kang Zayyin diam seperti tengah berpikir.

"Kenapa, Bi?"

"Abi mau tanya satu hal sama Umi."

"Boleh, dong, Bi!" Aku menyeru seraya menjawil pipinya dengan jahil.

Biasanya, dia akan tersenyum malu-malu saat kukerjai seperti itu. Tapi kali ini berbeda. Tubuh tegapnya mematung dingin, bak arca. Apa itu pertanda dia tengah serius?

"Jujur, sampai kapan pun hati Abi akan terpaut sama Umi. Umi di mata Abi adalah segalanya. Tapi, Abi nggak mau bersikap kejam sama perempuan lain hanya gara-gara hal itu." Dia diam sejenak, seolah-olah tengah mengumpulkan keberaniannya di depan istri sendiri. "Egois namanya kalau Abi bertahan dengan bersikukuh merawat perasaan di antara kita sementara orang yang baru datang Abi biarkan begitu saja hatinya. Abi nggak mau dzalim."

"Ma-maksudnya?" Hatiku mencelos.

Keraguan pun datang dengan hebat.

Apa mungkin kelak aku akan sanggup menyaksikan suamiku membagi hatinya pada perempuan lain?

Ah, tidak. Aku paham seperti apa Kang Zayyin. Mustahil laki-laki itu bisa berubah. Termasuk perihal perasaannya.

Aku Selepas DimaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang