Part 6
Dia mengangguk. Wajahnya dilipat-lipat.
"Kalau tentang Kanaya, sebaiknya Abi ikhtiar lebih keras lagi. Jangan pengen instan main bujuk-bujukin dia lewat Umi."
"Umi gak mau bantu?"
"Bukan, Bi. Tapi nanti Nay ngerasa kalau Abi gak tulus. Abi gak gigih."
"Iya, nanti Abi coba. Tapi Umi juga harus cerita ada apa sama dia. Gak kayak biasanya kan dia kasar."
Dengan duduk bersandar, aku pun berusaha menyampaikan semuanya. Semua yang Kanaya alami akhir-akhir ini. Tentang bulyan, juga tentang cibiran yang anak itu dapatkan.
Memang, dulu kami sengaja menutupi perihal pernikahan kedua abinya ini sama Kanaya. Hal itu, karena kami pikir kami sendiri butuh waktu untuk saling adaptasi. Aku dan Kang Zayyin tepatnya. Sehingga, setelah beberapa bulan Kang Zayyin menikah, baru Kanaya perlahan-lahan diberi tahu.
Awalnya, dia cukup antusias. Kepala anak-anak mungkin tak cukup rumit untuk memikirkan ada apa dengan ibu serta ayahnya. Ia hanya berpikir bangga akan punya adik baru dan bahagia karena disayangi dua ibu.
Semua berubah ketika orang-orang di sekitarnya, terutama teman-temannya tahu lalu mulai mempengaruhi pikiran serta sikapnya.
Kanaya jadi pemurung, tak lagi mau bervideo call bahkan dengan sang adik bayi. Dan yang terparah, sinar cinta kepada laki-laki kebanggaannya yakni abinya, meredup tak terelakkan lagi.
"Abi ngerasa bersalah, Mi." Laki-laki itu mengusap wajah.
"Sabar, Bi. Nanti Kanaya juga lama-lama bakal ngerti. Saat ini, kemarahannya jadi parah karena ia ngerasa waktu Abi sangat kurang buatnya. Maklum, sebagai anak tunggal, selama ini kan apa-apa selalu sama Abi."
Perlahan aku sadar. Sedapat mungkin aku harus meredam egoku sendiri kali ini. Aku tidak mau saat hubungan Kanaya merenggang dengan Kang Zayyin, aku pun ikut menjauh.
Sebab, bisa saja hal itu dijadikan alasan olehnya untuk lebih sering lagi berada di rumah Teh Wike ketimbang denganku dan Kanaya.
Sejujurnya, selain karena Teh Wike seorang perempuan yang telat menikah, alasan lainnya kenapa aku mengijinkan Kang Zayyin mendua adalan materi. Iya, setelah pernikahan kami lebih dari sepuluh tahun, ekonomi kami jauh lebih dari cukup.
Karirnya Abi Kanaya itu melesat begitu Kanaya lahir. Yang awalnya hanya seorang penterapi dan bekerja pada orang lain, Kang Zayyin sekarang sudah sukses menjadi seorang owner untuk beberapa cabang usaha miliknya.
Hingga kupikir, meski mendua, beliau tak akan membuat anak istrinya berkekurangan apalagi melarat.
Aku salah jika ternyata masalah memiliki istri baru tak semata uangnya yang terbagi. Namun juga waktunya, fokusnya, kepeduliannya dan yang paling menyedihkan adalah hatinya.
Entah aku yang terlalu sombong karena merasa Kang Zayyin begitu cinta mati padaku, entah memang Allah ingin aku paham sejatinya apa-apa yang pernah kumiliki pada kenyataannya bukanlah benar-benar milikku.
Sehingga hanya dengan kehadiran Faqih saja, buah hati Kang Zayyin dengan pengantin barunya, sanggup mengubah nyaris semua yang ada pada diri laki-laki itu.
Jadi memang betul, di dunia ini semua fana. Ada waktunya terenggut, ada saatnya selesai.
Sementara tentang Teh Wike, perempuan berkulit hitam manis itu ramah dan baik hati kepada siapa pun. Usianya terpaut jauh baik dengan Kang Zayyin terlebih denganku. Bahkan dulu, saat umurku masih kanak-kanak, aku mengaji di bawah asuhan beliau.
Selain sabar, bagiku Teh Wike seorang perempuan cantik yang pandai dalam segala hal. Pintar memasak, membuat kue, terlebih merawat diri. Hingga meski usianya sudah lumayan, tetapi fisiknya tidak terlalu jauh berbeda dengan gadis kebanyakan.
Teh Wike juga sering aktif di lingkungan masyarakat. Seperti menjadi orang yang suka menghandle dapur di acara-acara hajatan. Itulah kenapa beliau menolak saat kami memintanya untuk memiliki rumah di Bandung, berdekatan dengan rumah kami. Alasannya karena di kampung, tenaganya lebih banyak bermanfaat untuk masyarakat daripada jika beliau pindah dan hidup di kota.
Hingga saat tiba jatahnya Kang Zayyin bersama Teh Wike, laki-laki itu akan mengerjakan beberapa pekerjaannya via online. Sementara raganya full di kampung, membersamai istri tercinta.
***
"Nay, nanti pulang jam berapa?"
Kanaya yang sedang sarapan, berhenti sejenak mengunyah makannya lalu menatap ke arahku. "Umi mau pergi?"
"Nggak, Nak. Tapi Abi ngajakin kita jalan."
"Ya udah, pergi aja," dengkusnya seperti kesal.
"Perginya sama Nay, makanya Umi nanya."
"Males."
"Ini Umi yang pengen, Sayang. Umi bete. Umi pengen kita refreshing."
"Ya udah, Nay mau. Nanti Nay langsung pulang, Mi."
"Syukurlah kalau gitu. Nanti Umi siapin semuanya, ya."
"Iya, Mi. Oh, ya. Nay dah selesai, Mi. Pamit dulu, ya." Ia lalu mengambil tanganku dan menciumnya.
"Iya, Sayang." Aku yang masih sibuk dengan urusan mencuci pakaian, hanya bisa memandangi tubuh Kanaya yang perlahan menjauh.
***
Tadinya, abinya Kanaya ingin mengantar putrinya itu berangkat seperti biasa. Namun, karena masih tetap memasang aksi tutup mulut, Kang Zayyin menyerah dan memilih pergi mengontrol usahanya.
Saat aku tengah asyik menyantap bakso, laki-laki itu pulang.
"Kirain Umi masih lama pulangnya, Bi."
"Loh, kan kita mau pergi nanti nunggu si Nay pulang. Ini sebentar lagi Zuhur, Mi," balasnya seraya duduk. "Kenapa? Umi mau pesen sesuatu?"
"Nggak."
Tiba-tiba saja hatiku berdenyut sakit. Bukan Kang Zayyinku jika balasan kata-katanya seperti itu.